Dalam bahasa Aceh, “alam” yang berasal dari bahasa Arab berarti bendera dan “peudeung” adalah pedang. Alam Peudeung merupakan bendera Kerajaan Aceh Darussalam berdasarkan catatan sejarah yang ditulis pihak Belanda. Namun belum ada catatan sejarah yang cukup jelas menggambarkan wujudnya.
“Sedangkan ini bendera juga, tapi untuk membangkitkan semangat perang,” katanya, sambil menunjukkan foto bendera yang lain.
“Memang banyak versi, tapi saya cenderung dengan ini,” katanya, seraya menunjukkan ilustrasi Alam Peudeung yang tampil dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara karya Zainuddin yang ditunjukkannya pertama kali tadi.
Pada halaman pembukaan buku tersebut terdapat ilustrasi bendera Aceh di masa Kerajaan Aceh Darussalam. “Alam Atjeh”, begitu judul yang tertera di halaman itu. Kemudian terdapat syair berbahasa Aceh yang mengatakan, di Aceh ada Alam Peudeung, Cap Sikureung di tangan raja dan menceritakan kegemilangan sejarah Aceh.
“Kalau dulu orang aceh cenderung menerima Alam Peudeung yang ini (menunjuk versi Zainuddin). Ada pedangnya kan!, dengan bulan bintang, warnanya merah bukan kuning,” kata Rusdi dengan penuh keyakinan.
“Kalau yang ini (menunjukkan foto bendera merah yang satunya) banyak sekali ditemukan waktu perang dan modelnya juga banyak betul. Ada juga yang kuning dengan pedang ganda,” katanya.
Dalam pertempuran antara pasukan Belanda dan Kerajaan Aceh di Barus tahun 1840, Belanda berhasil merebut bendera perang pasukan Aceh. Warna dasar bendera itu merah, ada gambar pedang melintang dan di sudut atas bagian gagangnya ada bulatan seperti bulan purnama berwarna putih. Bulatan dan pedang tersebut bertuliskan tulisan Arab dengan kandungan doa-doa mohon perlindungan kepada Allah. Itulah gambar bendera yang dimaksud Rusdi sebagai bendera “waktu perang”.
“Sejak dulu ini bendera kita (menunjuk versi Zainuddin), tapi bagaimana ditemukan kurang jelas,” tuturnya.
“Kalau ini untuk kepentingan perang,” Ia kembali menunjuk bendera yang direbut Belanda dari tentara kerajaan Aceh di Barus tadi.
“Sejak Aceh Darussalam terbentuk ini sudah ada. Bagaimana ditemukan, saya tidak jelas. Tapi ada sumber yang bilang inilah Alam Peudeung,” ujarnya, lagi-lagi menunjuk gambar bendera dengan lambang bulan bintang di buku Zainuddin.
“Ya… seperti merah putih kan ada yang bilang yang menemukannya Mpu Tantular. Tapi itu kan dongeng. Yang jelas kemudian itu jadi bendera negara kita kan.” Ia tertawa.
Selain menjabat direktur PDIA, Rusdi juga berprofesi sebagai dosen Sejarah Aceh di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala.
“Lantas bagaimana dengan bendera hijau yang dikatakan dikibarkan saat damai?” tanya saya.
“Itu cerita kemudian, tapi yang jelas bendera Aceh itu merah ya, bisa kita lihat dalam naskah-naskah. Kemudian ada orang yang membuat warna hijau disimbolkan sebagai sejuk damai. Itu macam-macam kejadiannya. Bisa karena karya pujangga lukisan,” jawabnya.
“Tapi tidak mungkin saboh nanggroe (satu negeri) dua bendera kan, hahahaha… Bendera itu kan, lambang, simbol kerajaan artinya identitas. Itu saya kira,” lanjutnya.
“Bendera kita (Alam Peudeung) mirip dengan bendera bulan bintang Turki ya?” tanya saya.
“Iya, kalau ini tidak ada.” Rusdi menutup gambar pedang on jok pada gambar bendera tersebut dengan tangannya. “Bendera Turki kan.” Senyumnya mengembang, setelah mengucapkannya.
Ia mengatakan bahwa hubungan Aceh dan Turki sudah terbina sejak masa Sultan Ala’ad-din Riayat Syah al-Kahar. Ketika itu armada Turki dan tenaga ahli mereka dikirim ke Aceh sebagai wujud persahabatan.
“Tenaga ahli dari Turki itu kemudian menetap di Aceh. Konon katanya perkampungan mereka di Emperom,” katanya, sambil menggoyang-goyang kursinya.
“Empu itu kan artinya tukang atau ahli. Rom itu kan simbol atau istilah untuk menyebut Romawi Timur, tapi Rom di sini maksudnya Turki.”
Sultan Kerajaan Aceh Darussalam generasi ke-3 , Ala’ad-din Riayat Syah al-Kahar (1537) mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan Turki atas Aceh, dengan imbalan berupa bantuan militer turki untuk melawan Portugis. Kenangan-kenangan dari hubungan singkat ini terus dihidupkan di Aceh oleh bendera merah Ottoman yang masih dikibarkan oleh para sultan, dan oleh meriam besar “lada secupak” yang menjaga dalam (istana raja dan perkarangan) di Banda Aceh.
Bendera dan meriam ini dihormati sebagai pemberian khalifah, lambang perlindungan bagi kerajaan bawahannya yang terletak nun jauh di sana.
“ADA semacam kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa Aceh itu adalah proktektorat Turki. Jadi setiap tahun ada hadiah dari Aceh ke Turki sebagai pengakuan persaudaraan,” kata Ketua Museum Aceh, Nurdin AR kepada saya di tempat yang berbeda.
“Semacam upeti?” tanya saya.
“Jangan dibilang upeti lah, katakanlah semacam hadiah. Demikian juga dengan Turki, negara itu juga kasih bantuan banyak sekali atas pemintaan al-Kahar. Ada bantuan armada, tenaga ahli, ada transfer ilmu teknologi perang juga,” katanya sambil membetulkan letak kacamatanya.
Nurdin bertubuh berisi. Wajahnya mungil, berkacamata dan penuh senyum. Pagi itu Nurdin bersetelan kuning khas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di waktu senggangnya, ia sering terlihat memperhatikan ruang koleksi buku museum yang terdapat tepat di depan ruang kerjanya.
“Kemudian teknik bertempur. Di Aceh itu dikenal dengan seni bela diri geudeu-geudeu, yang masih dipertunjukkan di Pidie. Itu dulu latihan perang-perangan yang di bawa dari Turki. Sekarang katanya, saya tidak pernah ke Turki… katanya ada salah satu suku di situ ada seni bela diri seperti geudeu-geudeu di Sigli,” katanya, bangga.
Nurdin juga mengatakan bahwa banyak armada Turki yang diberikan untuk Aceh sehingga armada tersebut masih dipakai di masa sultan Aceh yang sangat tersohor, yaitu Iskandar Muda.
“Jadi kemudian ada emosi barangkali, kedekatan emosi antara orang atau Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Turki Usmani, juga karena keyakinannya,” katanya.
Sultan Selim II dari Kemaharajaan Turki dinasti Ottoman mengirimkan 15 kapal perang dan dua kapal pembekalan untuk menyokong Aceh melawan Portugis. Pemberian bantuan dilakukan melalui firman (keputusan) Sultan Selim II, tertanggal 20 September 1567, sebagai jawaban atas permintaan Sultan Aceh, Alaudin Riayat Syah.
“Di Turki bintang bulan, kita juga bintang bulan. Selain itu bintang bulan juga sebagai lambang muslim. Kemudian sebagai ciri khas Aceh ditaruh pedang on jok,” kata Nurdin.
Pendapatnya tentang Alam Peudeung sama seperti pendapat Rusdi.
“Kita lihat ini persis pedang Aceh. Ini ada tameng di tangan. Ini kunci pedang (ia menunjuk ukiran didepan gagang pedang), pedangnya juga tipis dan lentik seperti daun aren kemudian ada ini (ia menunjuk benda runcing yang menyerupai paku di belakang pegangan pedang), ini juga senjata pamungkas,” lanjutnya.
Menurut Nurdin, ketika pemakai pedang terdesak dalam pertempuran, ujung pedang tersebut dapat menjadi senjata yang ampuh untuk melukai atau memberikan kejutan balik ke lawan.
Pembicaraan kami akhirnya kembali ke bendera.
“Orang Aceh menyebut bendera: alam. Dari kata Arab. Ini kan yang disebut bendera Aceh.” Nurdin menunjuk kertas salinan ilustrasi bendera yang bergambar sebilah pedang terlentang dan bulan bintang di atasnya.
“Kalau itu kan tidak disebut (Alam Peudeung). Disebut bendera perang! Iya kan. Maka bendera perang itu selalu diiringi oleh pedang. Pedangnya berbeda, lalu di dalam ini ada tulisan-tulisan semacam ajimat penangkal, hikmah-hikmah yang dipakai dalam pertempuran untuk memecah pasukan lawan agar menang, supaya pasukannya berani,” tuturnya, panjang lebar.
Nurdin membaca satu demi satu tulisan Arab yang tertera di balik bendera tersebut.
“Nah ini Ali…ini kan salah satu panglima perang ketika zaman Nabi. Lau….” Ia kembali meneruskan bacaannya, “Ya man huwa (wahai Dia)..Ya man la illaha illa huwa (Wahai Dia, tiada Tuhan melainkan Dia).”
“Kenapa ada dua bendera dalam satu negara?” tanya saya, heran.
“Ini kan kalau dalam keadaan damai dipakai bendera putih. Semacam pertanda membawa misi damai. Tapi kalau mau bendera Aceh seperti bendera merah putih ya… ini (menunjuk bendera yang bergambar pedang serta bulan bintang),” jawabnya.
“Dulu ini (bendera perang yang direbut Belanda dari pasukan Kerajaan Aceh di Barus) ada di sini (Museum Aceh) tapi entah siapa yang pinjam. Pada saat zaman (kepemimpinan) Pak Zakaria dulu, bukan pada saat kepemimpinan saya. Entah kepala yang ketiga, pokoknya jauh sebelum saya.” Nurdin mencoba mengingat-ingat.
“Saat itu kondisinya memang sudah hancur, kemudian ada orang yang pinjam. Saya juga belum pernah lihat bendera itu, tapi kalau bendera warna putih kita masih punya,” tuturnya.
“Bendera tersebut secara fisik tidak ada lagi, tapi secara memori kolektif kita tidak hilang kan,” katanya, lagi.
“GAM (Gerakan Aceh Merdeka) memakai garis hitam, itulah dinamika, perkembangan, tapi identitas Aceh tidak pernah hilang, bintang bulannya,” tambahnya sembari, kembali tersenyum.
GAM memakai lambang bulan bintang di atas dasar merah dengan tambahan beberapa garis pada tepi atas dan bawahnya.
Nurdin mengatakan bahwa bila orientasi masyarakat berbeda maka lambang akan berbeda. Simbol itu penting buat orang Timur, katanya.
“Kehidupan bisa saja berubah, apakah di Aceh cukup ada Alam Peudeng dan sebagainya mungkin itu bisa berubah lagi tergantung harapan masyarakat. Karena harapan itu adalah doa kan.” Ia kembali terseyum.
WACANA tentang bendera Aceh mulai berhembus ketika isi poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki menyatakan bahwa Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, seperti bendera, lambang dan hymne. Hal ini kembali ditegaskan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006. Khususnya pasal 246 ayat 2 dan 3 serta bunyi pasal 247. Lambang tersebut berkedudukan sebagai identitas daerah yang berfungsi sebagai pengikat kesatuan budaya masyarakat daerah dalam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika Rusdi Sufi dan Nurdin AR sependapat bahwa Alam Peudeung adalah bendera yang bergambar pedang on jok dan bulan bintang di atasnya, maka Ridwan Azwad, sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) berpendapat beda.
“Saya sangsi (ragu) itu adalah Alam Peudeung,” tutur Ridwan, merujuk pada ilustrasi alam peudeung yang ada di buku Tarikh Aceh dan Nusantara karya Zainuddin.
“Saya lebih mengarah ke Brooshoff. Dia bilang ada keris bersilang. Tidak dibilang bintang beulen (bintang-bulan) kan. Kalau pun ada gambar yang beredar tapi kita sanksi juga dari mana mereka dapatkan… bisa saja ini imaginasi saja,” tuturnya.
Brooshoff adalah penulis buku Geschiedenis van den Atjeh Oorlog 1873-1886 (Sejarah Perang Aceh 1873-1886). Buku yang diterbitkan tahun 1936 tersebut berbahasa Belanda dan belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Dalam buku tersebut ditulis: De Atjehsche vlag is den witte kris op een rood veld. Soms ziet men ook in plaats van de kris, twee witte gekruiste klewang (Bendera orang Aceh adalah bergambar keris putih pada dasar berwarna merah, terkadang juga orang melihat keris tadi, menjadi dua pedang (klewang) putih yang bersilang)
“Apa pengertian keris di situ rencong? Bisa jadi saat itu dia tidak tahu nama senjata kita itu. Soalnya mirip keris kan,” tutur Ridwan.
Rencong adalah senjata tradisional Aceh yang diciptakan di masa Sultan al-Kahar. Bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya menyerupai kaligrafi tulisan Bismillah.
Ridwan juga menceritakan bahwa dalam buku Kreemer jilid II dikatakan bendera Aceh bernama Alam Cap Peudeung yang juga dinamakan Alam Radja. Di situ juga disebutkan ada “alam” merah saat perang, juga “alam” putih saat damai yang disebut alam ta’ lo.
Sejak kecil Ridwan terbiasa dengan buku-buku sejarah. Maklum, kakek dan ayahnya juga berkerja di bidang yang sama. Ayahnya, Aboe Bakar, bahkan pernah menjabat direktur harian PDIA. Ketika itu ayah Ridwan banyak menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda ke bahasa Indonesia guna memperkaya referensi sejarah Aceh.
“Tapi saya lebih cenderung (pada) laporan di buku Broshoof. Memang orang Aceh ada istilah panji. Tapi saya selain yang Broshoof bilang itu, yang lain masih kabur,” katanya, tegas.
Ridwan juga mempertanyakan sumber keterangan soal Alam Peudeung yang terdapat di buku Zainuddin.
“Jangan mentang-mentang ada lukisan itu kita langsung mengatakan itu Alam Peudeung. Kapan dia lukis itu, bagaimana sumbernya? apakah imajinasi? Tidak jelas,” ujarnya, dengan mimik serius.
Dalam Tarikh Aceh dan Nusantara terdapat gambar penyambutan Sultan Alaudin Riayat Syah al-Mukamil terhadap utusan dari Ratu Inggris Elizabeth I di bawah pimpinan Sir James Lancaster. Tampak beberapa orang penari berpakaian seperti penari Hindu dalam gambar tersebut. Namun, tidak dijelaskan bahwa gambar itu ilusrasi pelukis Belanda bernama C. Jetses yang mengkhayalkan penyambutan Lancaster dalam bentuk lukisan!
“Itu hal kecil tapi bisa jadi ribet nantinya. Bagaimana kalau itu dikutip lagi sama buku lainnya,” kata Ridwan, gusar.
“Kalau di buku Van Langen, Weskuest van Aceh (Aceh bagian Pantai Barat) ada pernah saya lihat gambar bendera yang pernah direbut di pantai barat. Tidak ada bulan bintangnya,” kenangnya.
“Kalau saya pribadi masih kabur, pajan bendera nya na (kapan bendera itu ada). Timbul pertanyaaan apa pada Ali Mughayat Syah sudah ada bendera. Dulu kan kerajaan Ali Mughayat Syah kecil, kemudian jadi besar,” tuturnya.
Ali Mughayat Syah adalah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Pada awalnya sebuah kerajaan yang terletak di ujung pulau itu bukan kerajaan penting namun setelah mempersatukan semua kekuatan anti-Portugis yang bermarkas (telah menguasai) di Pidie (1521) dan Pasai (1524), kerajaan tersebut besar dan memainkan peranan penting dalam monopoli eksport hasil produksi Sumatra dan Malaka.
“Yang jelas Alam Peudeung itu pada zaman yang sultan sudah kuat, tapi kita belum tahu yang mana,” sambungnya.
“Tapi Pak, dalam ingatan kolektif orang tua itu kan masih tinggal kenangan bendera Peudeung?” bantah saya, terkenang ucapan Nurdin tentang ingatan orang-orang tua.
“Orang tua itu berapa umurnya?” Ia terseyum penuh arti. “Orang zaman itu kan sudah mati, belum tentu mereka mewariskan ceritanya kepada anak-anak mereka,” lanjut Ridwan.
“Dalam sejarah, kesaksian itu ada dua, primer atau penyaksi langsung dan sekunder atau dari orang kedua. Contohnya seperti kita bilang kata neneknya, kan itu bukan dia yang lihat. Tidak setiap keterangan kita harus percaya kalau kita kembali ke metodologi sejarah. Jadi jangan setiap yang datang kita telan semua,” katanya.
“Alam Peudeung itu sendiri dari sumber Belanda, tapi tentu saja dia melakukan dengan riset yang kuat. Kalau saya tidak bisa terima ilustrasi tersebut, apa betul begitu? Kalau kita lihat laporan Belanda itu kan bersilang. Lagian tidak pernah disinggung kan bendera kita bintang buleun, “ jawabnya dengan nada sedikit tinggi. Setelah itu ia menghela napas.
“Jangan terima begitu saja sumber yang tidak jelas, kita mesti kritis,” tuturnya. Ridwan ingin ada penelitian lebih lanjut tentang bendera Aceh.***
*) Novia Liza adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia mahasiswa Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry