Perempuan-perempuan Tenda

Tenda-tenda itu terletak berjejer. Warna dan ukurannya nyaris seragam. Hijau lumut dengan ukuran 4x4 meter. Agar air hujan tak masuk, mereka membuat balai papan setinggi 30 sentimeter di dalam tenda. Di sanalah mereka merebahkan diri sekaligus meletakkan barang-barang.

Satu tenda dihuni beberapa orang. Ada yang sekeluarga. Ada juga yang lebih dari dua keluarga. Semua bercampur dalam satu tenda, anak-anak dan orang tua. Suami, istri, dan mertua.

Mengungsi di tenda ternyata tak berarti dunia berhenti berputar. Kehidupan tetap berjalan. Kendati tinggal di tenda, bayi-bayi tetap lahir. Tetap banyak perempuan pengungsi yang berbadan dua.

Setiap saya “nongkrong” di pengungsian, saya mendapati banyak jemuran pakaian yang digelantungi popok dan gurita untuk bayi. Bahkan terkadang saya berpapasan dengan ibu yang sedang hamil tua di antara tenda-tenda.

Tenda pengungsi asal Aceh Jaya salah satunya. Kabupaten ini adalah salah satu daerah yang paling parah terkena tsunami karena terletak di pesisir. Posisinya sekitar 120 kilometer ke arah  barat Banda Aceh.

Ada sekitar 150 kepala keluarga (KK) asal Aceh Jaya yang kini masih mengungsi di Banda Aceh. Mereka tak berani kembali ke daerahnya yang sudah hancur. Dan karena mereka merupakan pengungsi pendatang, mereka belum berhasil mendapatkan rumah bantuan.

Pengungsi Aceh Jaya tinggal di tenda yang nyaris lapuk karena sudah setahun ditempati. Sudah tiga kali mereka nomaden, berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain karena digusur empunya tanah. Pengembaraan mereka berakhir sementara di sebuah lapangan, tepat di samping Jalan Raya Lampeneurut, Banda Aceh.

Saya bertemu Munarwati di suatu siang terik. Dia terbuka dan ramah. Umurnya 30-an, tetapi wajahnya penuh kerut yang membuat dia terlihat lebih tua dari usia sesungguhnya.

Munarwati berkulit hitam dan bertinggi tubuh sedang. Dia tinggal di pengungsian itu bersama suami dan dua anaknya.

“Syafiie adalah suami kedua Munarwati, suami sebelumnya sudah meninggal juga anak bungsunya,” kata Rahmawati, tetangga Munarwati kepada saya.

Syafiie bekerja di bengkel. Mereka bertemu di pengungsian dan saling tertarik. Syafiie duda tanpa anak. Munarwati janda. Klop sudah.

Akhirnya di bulan Agustus 2005 yang cerah, dua sejoli ini memutuskan menikah di pengungsian.  Rahmawati, sang tetangga, juga hadir di pernikahan mereka.

Setelah menikah, Munarwati beruntung tidak usah berbagi tenda dengan orang lain. Tendanya pun tak jauh dari mushala pengungsian. Di sanalah dia mencari angin bila kepanasan di tenda.

Kini Munarwati sedang hamil tua. Daster warna merah marun yang lusuh itu tak mampu menutupi perutnya yang membesar. Dia terlihat kurus, lelah, dan kepanasan.

“Dua bulan lagi saya melahirkan,” katanya kepada saya.

Selain  Munawarwati, ada 10 ibu di pengungsian tenda warga Aceh Jaya yang juga sedang hamil. Dari 224 pengungsi perempuan yang terdiri dari orang dewasa, remaja, dan anak, sepertiga adalah ibu-ibu. Artinya, seperdelapan dari mereka sedang mengandung.

“Tinggal di tenda bukan berarti tidak bisa punya anak,” kata Rahmawati.

Menurut Rahmawati, para pasangan suami istri tetap bisa melakukan kewajiban mereka kendati tinggal di tenda. Apalagi para pengungsi di sekitar itu bukanlah tipe yang suka mengintip isi tenda orang lain.

“Asal pintar melihat waktu dan jangan lama-lama,” sambung Munarwati yang duduk di sisi Rahmawati sambil cekikikan.

Tenda-tenda itu terbuat dari terpal tebal yang kasar. Kebanyakan terpal tenda mulai berlumut.

Kendati demikian, cahaya lampu dalam tenda sudah pasti akan menampakkan aktivitas penghuninya. Sehingga saya yakin para pasangan akan berpikir dua kali untuk “berkasih-kasihan” di dalam tenda pada malam hari.

Menurut Munarwati, biasanya pasangan suami istri memilih untuk “berduaan” di siang hari atau setelah semua anggota tenda beraktivitas di luar.

Karena tenda tidak memiliki pintu, mereka tinggal menutup tenda. Kalau sudah demikian, tenda mereka tak akan dihiraukan warga. Sang empunya dianggap sedang pergi.

“Pokoknya pintar-pintarnya kita deh,” kata Munarwati lagi.

Para ibu saya lihat mengangguk-angguk seolah mengiyakan pernyataan Munarwati tadi. Beberapa di antara mereka tersenyum malu.


MESKIPUN hamil, Munarwati tak pernah mendapat bantuan gizi untuk orang hamil.  Munarwati jarang minum susu kecuali cokelat Milo yang dibelinya di warung dekat tenda.

Dia juga tak pernah ke rumah sakit untuk periksa kehamilan. Ada dokter yang datang setiap bulan ke tenda pengungsi Aceh Jaya.
Mereka berasal dari Berkat Indonesia, CARE, atau International Catholic for Migrant Commision. Tapi tak ada dokter khusus yang bisa menangani orang hamil.

Akibatnya di pengungsian Aceh Jaya sudah enam ibu yang keguguran di usia  kandungan mereka mencapai tiga sampai empat bulan. Para ibu ini tak paham penyebabnya.

“Tahu-tahu saja dan serba mendadak,” kata Ina, yang terpaksa kehilangan calon anaknya.

Ina masih lebih beruntung karena tidak perlu menghabiskan biaya banyak seperti Erlita.

Erlita keguguran di usia kandungan tujuh bulan. Dia dibawa ke puskesmas terdekat dan karena bidan tidak mampu menanganinya, Erlita terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Bunda, Banda Aceh untuk dioperasi.

Dia harus membayar  Rp 1.150.000.

“Kami terpaksa hutang sana hutang sini,” kata Erlita kepada saya.

Saya mengunjungi Erlita tepat saat kepulangannya ke tenda setelah operasi itu. Mukanya masih pucat dan tangannya gemetar saat mempersilahkan saya minum. Matanya merah saat saya bertanya mengapa dia bisa kehilangan kandungannya.

“Terlalu panas atau juga karena sanitasinya,” katanya, pelan.

Tinggal di pengungsian berarti harus siap dengan kondisi lingkungan yang buruk. Setidaknya itu diakui para pengungsi. Mulai dari kamar mandi darurat harus digunakan ramai-ramai hingga air yang terkadang kurang layak pakai.

Atau keguguran karena kurang gizi?

“Saya beli susu dengan uang sendiri. Karena susu mahal, jadi kalau tidak ada uang ya tidak beli,” katanya, sambil tersenyum pahit.

Dengan banyaknya kasus keguguran di tenda pengungsian, kini Munarwati berharap-harap cemas menanti kehadiran si buah hatinya. Dia mengaku hingga saat ini belum ada masalah yang serius kecuali merasa kepanasan. Lagipula lokasi bidan terletak “hanya”  dua kilometer dari tenda mereka.

“Saya sudah men”carter” becak bila bayi saya akan lahir,” kata Munarwati sambil tersenyum lebar sambil menunjuk sebuah becak di dekat tenda.


DI bulan-bulan awal tsunami, saya melihat banyak klinik kesehatan tersebar di tenda atau barak pengungsian. Namun setelah setahun tsunami, klinik itu banyak yang menghilang, terutama di kawasan tenda pengungsi.

Bila di tenda pengungsi warga Aceh Jaya, masih ada dokter yang datang setidaknya setiap satu bulan. Di Pengungsian Mon Ikeun Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, justru jarang disentuh petugas kesehatan.

Dulu ada rumah sakit tenda milik pemerintah Turki di situ. Kini rumah sakit darurat tersebut sudah dibongkar. Masa tugas tim medisnya sudah berakhir.

Sekitar 200 KK di  pengungsian Mon Ikeun pun kehilangan tempat berobat.

Saya tak berhasil mendapatkan data jumlah ibu hamil dan kelahiran di  pengungsian ini. Namun dari ibu-ibu pengungsi saya mendapat informasi kalau selama  setahun ini sudah terjadi 10 kali kelahiran dan kini ada enam perempuan yang tengah hamil.

Marina adalah salah seorang ibu yang memiliki bayi di pengungsian. Saat akan melahirkan Marina dibawa ke rumah sakit umum Zainal Abidin yang terletak 20 kilometer dari Mon Ikeun. Beruntung bayinya lahir selamat. Bayi perempuan yang kini berusia empat bulan itu diberi nama Ainal Mardiyah yang artinya ‘bidadari surga’.

Dia juga berusaha meringankan beban suaminya yang bekerja serabutan. Marina berjualan jagung bakar di depan tenda para pengungsi tiap sore, di sela-sela kesibukannya mengasuh Ainal yang suka rewel.

“Meskipun sedang hamil atau sudah punya bayi, kami harus lebih kuat daripada sebelum tsunami. Kami ‘kan harus bekerja mencari uang, mengasuh keluarga dan memasak. Tidak mungkin bermanja-manja,” katanya, dengan mata menerawang.


*) Nani Afrida adalah kontributor untuk sindikasi Pantau di Aceh