Yang Mengalir Seperti Air Di Tanoh Aceh

MINAT remaja Aceh untuk menulis terbilang tinggi. Menyimak dari hasrat, terlihat menggebu-gebu. Membaca contoh tulisan, tersimpan banyak potensi. Jelas ada bakat yang terpendam. Mereka tak ubahnya bak mutiara berkubang lumpur. Lantas, Seuramoe Teumuleh pun mengangkat "mutiara" dalam lumpur itu.

Cukup beralasan ketika Seuramoe Tumuleh II kembali dimulai. Apalagi putra-putri tanoh Aceh itu punya potensi, ide-ide mereka juga apik. Makanya, bila sedikit saja dipoles, mutiara itupun akan berkilau. Mereka punya segudang ide yang terkadang liar. "Saya tak tahu harus memulai dari mana kalau menulis, sementara ide itu banyak sekali," tukas Aida Yunita, kepada saya ketika itu.

Aida adalah satu dari 100 peserta sekolah menulis; Seuramoe Teumuleh II yang digelar Katahati Institute bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Pendidikan untuk "tukang tulis" yang gratis itu akan berlangsung selama dua bulan. Desember 2006 lalu, kegiatan serupa juga sudah pernah digelar.

Saya yang mendapat "tugas" menyeleksi hampir 200-an calon peserta pada saat wawancara beberapa waktu lalu, menangkap kesan itu. Paling tidak inspirasi calon-calon "tukang tulis" ini cukup cemerlang. Dan yang tak kalah penting adalah mereka kritis.

Daya kritiknya kuat juga. Tapi dari seratusan remaja, mereka malah tertarik untuk mengkritisi penerapan syariat Islam dan perilaku remaja di Serambi Makkah. Ada apa dengan syariat? Salahkah dia? "Saya tertarik menulis syariat Islam yang lagi susah payahnya diterapkan di Aceh," komentar Nurlaila AR, calon peserta yang saya wawancarai.

Dia tertarik bukan disebabkan alasan klasik, karena Islam sudah membumi di tanoh rencong. Nurlaila mengaku melihat syariat Islam itu sudah seperti "benda" asing di Aceh. Ditambah lagi dengan tingkah aparatur pemerintah yang dianggap tebang pilih dalam menerapkan hukum agama itu.

"Kalau rakyat biasa yang salah, langsung diproses dan dipersulit. Tapi coba kalau kelas menengah ke atas, pasti berlarut-larut. Sungguh itu bukan cara terbaik untuk masyarakat. Kalo begini caranya, rakyat akan mengamuk," ulas Nirna Yanti, mahasiswa sebuah lembaga pendidikan di Banda Aceh ini.

Menyimak komentar warga Keutapang ini, saya teringat Taqwaddin, SH, MS, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh ini bilang, syariat Islam di Aceh itu mengandung sifat-sifat air; mencari tempat yang rendah.

"Hukum bagaikan air. Mengalir ke tempat paling rendah, sehingga pada orang rendahan sajalah hukum itu menumpuk," tamsil pria yang juga menamatkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Unsyiah itu. Ironis memang, sejatinya hukum itu berlaku untuk siapa saja, tak peduli dia pejabat atau penjahat.

Tapi, seperti kata Taqwaddin, sebaliknya, hukum itu tidak berlaku bagi orang yang lebih tinggi kedudukan dan jabatannya. "Dengan berbagai dalil, hukum itu seperti menjauh dari yang bersangkutan," urai dia.

Taqwaddin benar. Karena itu pulalah, Safrina, calon peserta lainnya, merasa "tidak bisa" menerima pelaksanaan syariat Islam itu. "Sejak saat diterapkan, saya malah merasa tertantang untuk kucing-kucingan dengan petugas," aku gadis asal Aceh Timur itu.

Akibat "pemaksaan" itulah, Safrina tak pernah merasa peraturan itu menjadi sebuah kewajiban bagi dia, tapi sebaliknya, cuma sebatas formalitas semata. "Kenapa perempuan terus yang disorot," tanya gadis hitam manis ini.

Lain lagi dengan Alvi Chairiah, siswa SMU 3 Banda Aceh yang juga mengikuti kegiatan serupa. Gadis manis ini mengatakan syariat Islam bukan rintangan bagi dia. "Kalau kita berbusana dengan sopan tak perlu takut dengan WH. Kita hanya takut kepada Allah SWT," urai Alvi. WH akronim dari Wilayatul Hisbah yang menjadi semacam polisi syariah.

Nindy Silvie, siswi SMU I Banda Aceh juga tak jauh beda. Sebagai muslimah dia melihat syariah itu kebutuhan. "Tanpa dipaksa pun, kita selalu memakai jilbab kok," ujar siswi yang aktif di OSIS sekolahnya.

Pro kontra masalah syariat Islam, seakan mengalir seperti air juga. Di bendung sana-sini, sesuai dengan kondrat air, dia juga tetap mencari dataran rendah. Meski yang sangat disayangkan adalah penerapannya yang "mengadopsi" gaya air. "Seharusnya semua orang di mata hukum sama," sambung Mu'arif, juga calon peserta yang saya tanyai.

Pada kesempatan yang lain, kalangan ulama mengharapkan penerapan syariat Islam di Aceh tidak boleh gagal, kendati dalam implementasinya banyak kendala yang dihadapi. "Tidak ada istilah gagal syariat Islam di Aceh, ini tanggung jawab kita bersama," kata Tgk. H. Nuruzzahri Yahya, seorang ulama Aceh baru-baru ini.

Kata Wakil I Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) ini, komitmen pemerintah dalam menjalankan syariat Islam di Aceh sudah merupakan sebuah kemajuan. "Di sinilah perlunya dijaga kekompakan agar semua pihak bersatu dalam mengawal jalannya syariat Islam," ujar pria yang kerap disapa Waled Nu itu.

Atas nama bersatu untuk pengawalan, seperti diutarakan ulama dayah ini, tentu kita juga akan menunggu kritikan remaja Aceh yang sedang belajar menjadi "tukang tulis"
di Seuramoe Tumuleh. Akankah mereka juga mengkritik seperti air yang mengalir. [Munawardi Ismail]