Partai Gabthat
KALIMAT “Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasullallah (aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah)” itu tercetak dalam bentuk kaligrafi di stiker yang ditempel di tembok rumah. Selain itu, ada stiker lain yang bertuliskan “PEUREUTE GABTHAT”.
Rumah ini memang kantor sekretariat Dewan Pimpinan Pusat Partai Gabthat. Letaknya di daerah Lamseupeung, Krueng Aceh, Banda Aceh. Gabthat kependekan dari Generasi Atjeh Beusaboh Tha’at dan Taqwa.
Sabtu siang itu, 3 Mei 2008, sejumlah orang berkumpul di ruang tamu yang terasa sesak. Bendera partai dipajang di situ. Teungku Ahmad Tajuddin duduk di kursi di hadapan mereka dan kelihatan serius membahas soal-soal organisasi.
“Pak, lon wartawan. Reuncana jih wawancara Bapak siat teuntang Peureute Gabthat (Pak, saya wartawan. Rencananya mau wawancara Bapak tentang Partai Gabthat,” kata saya kepadanya.
“Dek, neuhei Abi mantong keu Teungku (Dik, panggil Abi saja kepada Teungku),” pinta Teungku Abdul Samat pada saya. Dia adalah Panglima Garda Partai Gabthat, organisasi pemuda partai tersebut.
Abi Lampisang. Itulah panggilan yang populer bagi Teungku Ahmad Tajuddin. Lampisang tak lain dari nama desa di Seulimum, Aceh Besar. Dia lahir pada 15 September 1962 di desa itu. Ayahnya, Teungku Abdullah, pemimpin dayah atau pesantren Lampisang. Setelah sang ayah meninggal dunia, dia menggantikan ayahnya memimpin dayah Lampisang.
Pada 1998, pasca pemerintahan Soeharto dan pencabutan status Daerah Operasi Militer atau DOM di Aceh, dia menggelar dakwah akbar yang dihadiri ribuan jamah di dayahnya.
Tak ayal lagi, dakwahnya dianggap pemerintah Jakarta sebagai doktrin-doktrin Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Dia pun jadi incaran militer Indonesia.
“Watee nyan dakwah lon isi jih teuntang peumbinaan akhlakulkarimah (akhlak yang baik) keupada masyarakat (Waktu itu dakwah saya isinya tentang pembinaan akhlakulkarimah kepada masyarakat,” tuturnya.
Dia sempat tinggal berpindah-pindah, karena merasa keselamatannya terancam. Akibatnya, dayah Lampisang sempat terbengkalai.
Perjanjian damai antara pihak GAM dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, telah membuka lembaran baru bagi Aceh, termasuk bagi lelaki ini. Perjanjian tadi melahirkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 tahun 2006 atau populer disebut UU PA. Undang-undang itu menyebutkan bahwa orang Aceh diberi keleluasaan dalam berserikat dengan membentuk partai lokal.
Dia dan beberapa kawannya, seperti Teungku Azhari, Teungku Hamdani Lampisang, dan Teungku Muhammad Samalanga, memanfaatkan peluang ini. Mereka sepakat mendirikan partai yang kemudian dinamai Partai Gabthat. Dalam bahasa Indonesia, “gabthat” berarti “kokoh“ atau “kuat sekali”.
Gabthat jadi partai lokal kedua yang dideklarasikan di Aceh. Sebelumnya, pada 2 Maret 2006, Partai Rakyat Aceh atau PRA yang dikomandani para aktivis muda jadi partai lokal pertama yang mendeklarasikan keberadaannya.
Sebenarnya Gabthah sudah berdiri pada 4 Desember 2005, tapi belum berbentuk partai, masih berstatus yayasan pendidikan.
Pada 21 Maret 2007, deklarasi Gabthat sebagai partai dilaksanakan di makam Sultan Iskandar Muda. Mereka yang hadir saat itu kebanyakan anggota Himpunan Ulama Dayah (HUDA), mantan GAM, anggota Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA), dan utusan dayah. Makam Iskandar Muda dianggap menjadi simbol kejayaan Aceh.
“Kamoe ingin meuba Aceh seuperti jameun Sultan Iskandar Muda (Kami ingin membawa Aceh seperti zaman Sultan Iskandar Muda),” katanya.
Partai Gabthat dalam strukturnya juga berpedoman pada struktur pemerintahan Aceh tempo dulu. Imeum Chik merupakan sebutan bagi pemimpin tertinggi partai ini.
Orang Aceh mengibaratkan pemerintahan Sultan Iskandar Muda dalam sebuah hadis maja atau peribahasa Aceh.
Adat bak Poe Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala
Qanun bak Putroe Phang, Reusan bak Lakseumana
Pou Teumeureuhom sebagai pemegang kekuasaan. Syiah Kuala sebagai pemegang hukum syariat atau agama, yang mewakili ulama.
Qanun adalah perundang-undangan yang berdasarkan hukum agama. Reusam melambangkan tatanan protokoler atau adat-istiadat. Semua unsur ini mengacu ke satu asas, yaitu ”agama ngon adat, lagei zat ngon sifeut (agama dan adat, seperti zat dengan sifat)”.
Partai Gabthat memiliki lima asas, yaitu bertuhan dengan Allah SWT, bernabi dengan Nabi Muhammad SAW, berpedoman dengan Alquran dan hadist, berakidah dengan ahlus sunnah waljamaah dan bermahzhab Syafi’i.
Ahlus sunnah waljamaah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi dan sunnah sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
“Peureute Gabthat, peureuteu ulama dan peureuteu Islam (Partai Gabthat adalah partai ulama dan partai Islam),” ujar Teungku Abdul Samat, sambil mengisap rokoknya.
SELASA malam, 6 Mei 2008. Teungku. Azhari duduk di sebuah warung kopi yang baru diperbaiki. Sesekali tangannya sibuk memencet tombol telepon seluler miliknya. Dia kelahiran Meureudu, kabupaten Pidie Jaya. Pada 12 Desember nanti dia akan berusia 37 tahun.
Dia menjabat wakil ketua Dewan Syura Partai Gabthat. Dewan ini mengatur kebijakan partai.
Pembawaannya tenang. Tidak mirip politisi yang penuh muslihat. Sebelum aktif di Gabthat, dia tak pernah terlibat di partai politik.
“Peu nyan neuk tanyong bak lon (Apa yang mau ditanyakan pada saya),” katanya.
Saya bertanya tentang banyaknya mantan GAM di Gabthat dan mengapa mereka tak bergabung dengan Partai GAM saja (GAM = Gerakan Aceh Mandiri. Kelak Partai GAM bertukar nama lagi, menjadi Partai Aceh).
“Tidak seide, mungkin itu permasalahannya. Bukankah perbedaan pendapat itu rahmat?” katanya.
"Meski secara stempel (kelembagaan) Partai Gabthat memang bukan partainya Gerakan Aceh Mandiri, tapi tokoh-tokoh yang sekarang di Gabthat itu adalah orang-orang perjuangan juga alias Gerakan Aceh Merdeka. Setelah perjanjian damai yang namanya Gerakan Aceh Merdeka telah dibubarkan. Ini kan kita lagi pada masa transisi dari perjuangan (di masa) konflik ke perjuangan politik. Lihat itu. Bukan pada personal dalam Partai Gabthat,” jelasnya.
Sekarang Gabthat punya cabang di 15 kabupaten dan kota, dan di 93 kecamatan yang tersebar di seluruh Aceh.
Menurut sang pemimpin, Teungku Ahmad, Gabthat akan bermain di tingkat lokal dan belum memikirkan kolaborasi dengan partai nasional.
“Untuk pusat (nasional) koh taloe hidong (potong tali hidung), artinya belum bisa menceritakan hal itu,” katanya di lain kesempatan kepada saya.
Keberadaan Partai Gabthat di kalangan anak muda Aceh juga belum populer. Setidaknya hal itu yang diungkapkan Fakhrulrazi, seorang pemuda yang saya jumpai di sebuah warung nasi di tepi jalan Neusu, Banda Aceh. Dia tak tahu apa-apa soal Gabthat.
“Nyan lon teupeu, peureute GAM ngon PRA (Yang saya ketahui, partai GAM dengan PRA),” jawabnya, sambil menikmati makan malamnya.
Kini proses verifikasi Gabthat oleh kantor wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Aceh memasuki tahap akhir, yakni peninjauan akan keberadaan partai Gabthat di setiap kabupaten atau kota di Aceh. Bila lulus, maka partai ini berhak memeriahkan pemilihan umum legislatif di Aceh tahun depan.***
*) Jufrizal adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Aceh. Ia mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh.