Doa "Adik" Cristiano Ronaldo Dari Tibang

Senyum fans "Setan Merah" Manchester United bukan hanya milik penghuni The Theatre of Dreams. Bocah ajaib dari Tibang, Martunis

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Alam Peudeung



“INI dia Alam Peudeung kita,” kata Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Rusdi Sufi. Ia menunjukkan sebuah ilustrasi bendera berwarna merah dengan lambang bulan bintang dan pedang on jok, pedang khas Aceh yang berbentuk daun aren yang terletak melintang di bawah lambang bulan bintang itu.

Dalam bahasa Aceh, “alam” yang berasal dari bahasa Arab berarti bendera dan “peudeung” adalah pedang. Alam Peudeung merupakan bendera Kerajaan Aceh Darussalam berdasarkan catatan sejarah yang ditulis pihak Belanda. Namun belum ada catatan sejarah yang cukup jelas menggambarkan wujudnya.

“Sedangkan ini bendera juga, tapi untuk membangkitkan semangat perang,” katanya, sambil menunjukkan foto bendera yang lain.

“Memang banyak versi, tapi saya cenderung dengan ini,” katanya, seraya menunjukkan ilustrasi Alam Peudeung yang tampil dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara karya Zainuddin yang ditunjukkannya pertama kali tadi.

Pada halaman pembukaan buku tersebut terdapat ilustrasi bendera Aceh di masa Kerajaan Aceh Darussalam. “Alam Atjeh”, begitu judul yang tertera di halaman itu. Kemudian terdapat syair berbahasa Aceh yang mengatakan, di Aceh ada Alam Peudeung, Cap Sikureung di tangan raja dan menceritakan kegemilangan sejarah Aceh.

“Kalau dulu orang aceh cenderung menerima Alam Peudeung yang ini (menunjuk versi Zainuddin). Ada pedangnya kan!, dengan bulan bintang, warnanya merah bukan kuning,” kata Rusdi dengan penuh keyakinan.

“Kalau yang ini (menunjukkan foto bendera merah yang satunya) banyak sekali ditemukan waktu perang dan modelnya juga banyak betul. Ada juga yang kuning dengan pedang ganda,” katanya.

Dalam pertempuran antara pasukan Belanda dan Kerajaan Aceh di Barus tahun 1840, Belanda berhasil merebut bendera perang pasukan Aceh. Warna dasar bendera itu merah, ada gambar pedang melintang dan di sudut atas bagian gagangnya ada bulatan seperti bulan purnama berwarna putih. Bulatan dan pedang tersebut bertuliskan tulisan Arab dengan kandungan doa-doa mohon perlindungan kepada Allah. Itulah gambar bendera yang dimaksud Rusdi sebagai bendera “waktu perang”.

“Sejak dulu ini bendera kita (menunjuk versi Zainuddin), tapi bagaimana ditemukan kurang jelas,” tuturnya.

“Kalau ini untuk kepentingan perang,” Ia kembali menunjuk bendera yang direbut Belanda dari tentara kerajaan Aceh di Barus tadi.

“Sejak Aceh Darussalam terbentuk ini sudah ada. Bagaimana ditemukan, saya tidak jelas. Tapi ada sumber yang bilang inilah Alam Peudeung,” ujarnya, lagi-lagi menunjuk gambar bendera dengan lambang bulan bintang di buku Zainuddin.

“Ya… seperti merah putih kan ada yang bilang yang menemukannya Mpu Tantular. Tapi itu kan dongeng. Yang jelas kemudian itu jadi bendera negara kita kan.” Ia tertawa.

Selain menjabat direktur PDIA, Rusdi juga berprofesi sebagai dosen Sejarah Aceh di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala.

“Lantas bagaimana dengan bendera hijau yang dikatakan dikibarkan saat damai?” tanya saya.

“Itu cerita kemudian, tapi yang jelas bendera Aceh itu merah ya, bisa kita lihat dalam naskah-naskah. Kemudian ada orang yang membuat warna hijau disimbolkan sebagai sejuk damai. Itu macam-macam kejadiannya. Bisa karena karya pujangga lukisan,” jawabnya.

“Tapi tidak mungkin saboh nanggroe (satu negeri) dua bendera kan, hahahaha… Bendera itu kan, lambang, simbol kerajaan artinya identitas. Itu saya kira,” lanjutnya.

“Bendera kita (Alam Peudeung) mirip dengan bendera bulan bintang Turki ya?” tanya saya.

“Iya, kalau ini tidak ada.” Rusdi menutup gambar pedang on jok pada gambar bendera tersebut dengan tangannya. “Bendera Turki kan.” Senyumnya mengembang, setelah mengucapkannya.

Ia mengatakan bahwa hubungan Aceh dan Turki sudah terbina sejak masa Sultan Ala’ad-din Riayat Syah al-Kahar. Ketika itu armada Turki dan tenaga ahli mereka dikirim ke Aceh sebagai wujud persahabatan.

“Tenaga ahli dari Turki itu kemudian menetap di Aceh. Konon katanya perkampungan mereka di Emperom,” katanya, sambil menggoyang-goyang kursinya.

“Empu itu kan artinya tukang atau ahli. Rom itu kan simbol atau istilah untuk menyebut Romawi Timur, tapi Rom di sini maksudnya Turki.”

Sultan Kerajaan Aceh Darussalam generasi ke-3 , Ala’ad-din Riayat Syah al-Kahar (1537) mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan Turki atas Aceh, dengan imbalan berupa bantuan militer turki untuk melawan Portugis. Kenangan-kenangan dari hubungan singkat ini terus dihidupkan di Aceh oleh bendera merah Ottoman yang masih dikibarkan oleh para sultan, dan oleh meriam besar “lada secupak” yang menjaga dalam (istana raja dan perkarangan) di Banda Aceh.

Bendera dan meriam ini dihormati sebagai pemberian khalifah, lambang perlindungan bagi kerajaan bawahannya yang terletak nun jauh di sana.


“ADA semacam kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa Aceh itu adalah proktektorat Turki. Jadi setiap tahun ada hadiah dari Aceh ke Turki sebagai pengakuan persaudaraan,” kata Ketua Museum Aceh, Nurdin AR kepada saya di tempat yang berbeda.

“Semacam upeti?” tanya saya.

“Jangan dibilang upeti lah, katakanlah semacam hadiah. Demikian juga dengan Turki, negara itu juga kasih bantuan banyak sekali atas pemintaan al-Kahar. Ada bantuan armada, tenaga ahli, ada transfer ilmu teknologi perang juga,” katanya sambil membetulkan letak kacamatanya.

Nurdin bertubuh berisi. Wajahnya mungil, berkacamata dan penuh senyum. Pagi itu Nurdin bersetelan kuning khas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di waktu senggangnya, ia sering terlihat memperhatikan ruang koleksi buku museum yang terdapat tepat di depan ruang kerjanya.

“Kemudian teknik bertempur. Di Aceh itu dikenal dengan seni bela diri geudeu-geudeu, yang masih dipertunjukkan di Pidie. Itu dulu latihan perang-perangan yang di bawa dari Turki. Sekarang katanya, saya tidak pernah ke Turki… katanya ada salah satu suku di situ ada seni bela diri seperti geudeu-geudeu di Sigli,” katanya, bangga.

Nurdin juga mengatakan bahwa banyak armada Turki yang diberikan untuk Aceh sehingga armada tersebut masih dipakai di masa sultan Aceh yang sangat tersohor, yaitu Iskandar Muda.

“Jadi kemudian ada emosi barangkali, kedekatan emosi antara orang atau Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Turki Usmani, juga karena keyakinannya,” katanya.

Sultan Selim II dari Kemaharajaan Turki dinasti Ottoman mengirimkan 15 kapal perang dan dua kapal pembekalan untuk menyokong Aceh melawan Portugis. Pemberian bantuan dilakukan melalui firman (keputusan) Sultan Selim II, tertanggal 20 September 1567, sebagai jawaban atas permintaan Sultan Aceh, Alaudin Riayat Syah.

“Di Turki bintang bulan, kita juga bintang bulan. Selain itu bintang bulan juga sebagai lambang muslim. Kemudian sebagai ciri khas Aceh ditaruh pedang on jok,” kata Nurdin.

Pendapatnya tentang Alam Peudeung sama seperti pendapat Rusdi.

“Kita lihat ini persis pedang Aceh. Ini ada tameng di tangan. Ini kunci pedang (ia menunjuk ukiran didepan gagang pedang), pedangnya juga tipis dan lentik seperti daun aren kemudian ada ini (ia menunjuk benda runcing yang menyerupai paku di belakang pegangan pedang), ini juga senjata pamungkas,” lanjutnya.

Menurut Nurdin, ketika pemakai pedang terdesak dalam pertempuran, ujung pedang tersebut dapat menjadi senjata yang ampuh untuk melukai atau memberikan kejutan balik ke lawan.

Pembicaraan kami akhirnya kembali ke bendera.

“Orang Aceh menyebut bendera: alam. Dari kata Arab. Ini kan yang disebut bendera Aceh.” Nurdin menunjuk kertas salinan ilustrasi bendera yang bergambar sebilah pedang terlentang dan bulan bintang di atasnya.

“Kalau itu kan tidak disebut (Alam Peudeung). Disebut bendera perang! Iya kan. Maka bendera perang itu selalu diiringi oleh pedang. Pedangnya berbeda, lalu di dalam ini ada tulisan-tulisan semacam ajimat penangkal, hikmah-hikmah yang dipakai dalam pertempuran untuk memecah pasukan lawan agar menang, supaya pasukannya berani,” tuturnya, panjang lebar.

Nurdin membaca satu demi satu tulisan Arab yang tertera di balik bendera tersebut.

“Nah ini Ali…ini kan salah satu panglima perang ketika zaman Nabi. Lau….” Ia kembali meneruskan bacaannya, “Ya man huwa (wahai Dia)..Ya man la illaha illa huwa (Wahai Dia, tiada Tuhan melainkan Dia).”

“Kenapa ada dua bendera dalam satu negara?” tanya saya, heran.

“Ini kan kalau dalam keadaan damai dipakai bendera putih. Semacam pertanda membawa misi damai. Tapi kalau mau bendera Aceh seperti bendera merah putih ya… ini (menunjuk bendera yang bergambar pedang serta bulan bintang),” jawabnya.

“Dulu ini (bendera perang yang direbut Belanda dari pasukan Kerajaan Aceh di Barus) ada di sini (Museum Aceh) tapi entah siapa yang pinjam. Pada saat zaman (kepemimpinan) Pak Zakaria dulu, bukan pada saat kepemimpinan saya. Entah kepala yang ketiga, pokoknya jauh sebelum saya.” Nurdin mencoba mengingat-ingat.

“Saat itu kondisinya memang sudah hancur, kemudian ada orang yang pinjam. Saya juga belum pernah lihat bendera itu, tapi kalau bendera warna putih kita masih punya,” tuturnya.

“Bendera tersebut secara fisik tidak ada lagi, tapi secara memori kolektif kita tidak hilang kan,” katanya, lagi.

“GAM (Gerakan Aceh Merdeka) memakai garis hitam, itulah dinamika, perkembangan, tapi identitas Aceh tidak pernah hilang, bintang bulannya,” tambahnya sembari, kembali tersenyum.

GAM memakai lambang bulan bintang di atas dasar merah dengan tambahan beberapa garis pada tepi atas dan bawahnya.

Nurdin mengatakan bahwa bila orientasi masyarakat berbeda maka lambang akan berbeda. Simbol itu penting buat orang Timur, katanya.

“Kehidupan bisa saja berubah, apakah di Aceh cukup ada Alam Peudeng dan sebagainya mungkin itu bisa berubah lagi tergantung harapan masyarakat. Karena harapan itu adalah doa kan.” Ia kembali terseyum.


WACANA tentang bendera Aceh mulai berhembus ketika isi poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki menyatakan bahwa Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, seperti bendera, lambang dan hymne. Hal ini kembali ditegaskan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006. Khususnya pasal 246 ayat 2 dan 3 serta bunyi pasal 247. Lambang tersebut berkedudukan sebagai identitas daerah yang berfungsi sebagai pengikat kesatuan budaya masyarakat daerah dalam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika Rusdi Sufi dan Nurdin AR sependapat bahwa Alam Peudeung adalah bendera yang bergambar pedang on jok dan bulan bintang di atasnya, maka Ridwan Azwad, sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) berpendapat beda.

“Saya sangsi (ragu) itu adalah Alam Peudeung,” tutur Ridwan, merujuk pada ilustrasi alam peudeung yang ada di buku Tarikh Aceh dan Nusantara karya Zainuddin.

“Saya lebih mengarah ke Brooshoff. Dia bilang ada keris bersilang. Tidak dibilang bintang beulen (bintang-bulan) kan. Kalau pun ada gambar yang beredar tapi kita sanksi juga dari mana mereka dapatkan… bisa saja ini imaginasi saja,” tuturnya.

Brooshoff adalah penulis buku Geschiedenis van den Atjeh Oorlog 1873-1886 (Sejarah Perang Aceh 1873-1886). Buku yang diterbitkan tahun 1936 tersebut berbahasa Belanda dan belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Dalam buku tersebut ditulis: De Atjehsche vlag is den witte kris op een rood veld. Soms ziet men ook in plaats van de kris, twee witte gekruiste klewang (Bendera orang Aceh adalah bergambar keris putih pada dasar berwarna merah, terkadang juga orang melihat keris tadi, menjadi dua pedang (klewang) putih yang bersilang)

“Apa pengertian keris di situ rencong? Bisa jadi saat itu dia tidak tahu nama senjata kita itu. Soalnya mirip keris kan,” tutur Ridwan.

Rencong adalah senjata tradisional Aceh yang diciptakan di masa Sultan al-Kahar. Bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya menyerupai kaligrafi tulisan Bismillah.

Ridwan juga menceritakan bahwa dalam buku Kreemer jilid II dikatakan bendera Aceh bernama Alam Cap Peudeung yang juga dinamakan Alam Radja. Di situ juga disebutkan ada “alam” merah saat perang, juga “alam” putih saat damai yang disebut alam ta’ lo.

Sejak kecil Ridwan terbiasa dengan buku-buku sejarah. Maklum, kakek dan ayahnya juga berkerja di bidang yang sama. Ayahnya, Aboe Bakar, bahkan pernah menjabat direktur harian PDIA. Ketika itu ayah Ridwan banyak menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda ke bahasa Indonesia guna memperkaya referensi sejarah Aceh.

“Tapi saya lebih cenderung (pada) laporan di buku Broshoof. Memang orang Aceh ada istilah panji. Tapi saya selain yang Broshoof bilang itu, yang lain masih kabur,” katanya, tegas.

Ridwan juga mempertanyakan sumber keterangan soal Alam Peudeung yang terdapat di buku Zainuddin.

“Jangan mentang-mentang ada lukisan itu kita langsung mengatakan itu Alam Peudeung. Kapan dia lukis itu, bagaimana sumbernya? apakah imajinasi? Tidak jelas,” ujarnya, dengan mimik serius.

Dalam Tarikh Aceh dan Nusantara terdapat gambar penyambutan Sultan Alaudin Riayat Syah al-Mukamil terhadap utusan dari Ratu Inggris Elizabeth I di bawah pimpinan Sir James Lancaster. Tampak beberapa orang penari berpakaian seperti penari Hindu dalam gambar tersebut. Namun, tidak dijelaskan bahwa gambar itu ilusrasi pelukis Belanda bernama C. Jetses yang mengkhayalkan penyambutan Lancaster dalam bentuk lukisan!

“Itu hal kecil tapi bisa jadi ribet nantinya. Bagaimana kalau itu dikutip lagi sama buku lainnya,” kata Ridwan, gusar.

“Kalau di buku Van Langen, Weskuest van Aceh (Aceh bagian Pantai Barat) ada pernah saya lihat gambar bendera yang pernah direbut di pantai barat. Tidak ada bulan bintangnya,” kenangnya.

“Kalau saya pribadi masih kabur, pajan bendera nya na (kapan bendera itu ada). Timbul pertanyaaan apa pada Ali Mughayat Syah sudah ada bendera. Dulu kan kerajaan Ali Mughayat Syah kecil, kemudian jadi besar,” tuturnya.

Ali Mughayat Syah adalah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Pada awalnya sebuah kerajaan yang terletak di ujung pulau itu bukan kerajaan penting namun setelah mempersatukan semua kekuatan anti-Portugis yang bermarkas (telah menguasai) di Pidie (1521) dan Pasai (1524), kerajaan tersebut besar dan memainkan peranan penting dalam monopoli eksport hasil produksi Sumatra dan Malaka.

“Yang jelas Alam Peudeung itu pada zaman yang sultan sudah kuat, tapi kita belum tahu yang mana,” sambungnya.

“Tapi Pak, dalam ingatan kolektif orang tua itu kan masih tinggal kenangan bendera Peudeung?” bantah saya, terkenang ucapan Nurdin tentang ingatan orang-orang tua.

“Orang tua itu berapa umurnya?” Ia terseyum penuh arti. “Orang zaman itu kan sudah mati, belum tentu mereka mewariskan ceritanya kepada anak-anak mereka,” lanjut Ridwan.

“Dalam sejarah, kesaksian itu ada dua, primer atau penyaksi langsung dan sekunder atau dari orang kedua. Contohnya seperti kita bilang kata neneknya, kan itu bukan dia yang lihat. Tidak setiap keterangan kita harus percaya kalau kita kembali ke metodologi sejarah. Jadi jangan setiap yang datang kita telan semua,” katanya.

Alam Peudeung itu sendiri dari sumber Belanda, tapi tentu saja dia melakukan dengan riset yang kuat. Kalau saya tidak bisa terima ilustrasi tersebut, apa betul begitu? Kalau kita lihat laporan Belanda itu kan bersilang. Lagian tidak pernah disinggung kan bendera kita bintang buleun, “ jawabnya dengan nada sedikit tinggi. Setelah itu ia menghela napas.

“Jangan terima begitu saja sumber yang tidak jelas, kita mesti kritis,” tuturnya. Ridwan ingin ada penelitian lebih lanjut tentang bendera Aceh.***



*) Novia Liza adalah
kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia mahasiswa Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry

Perempuan-perempuan Tenda

Tenda-tenda itu terletak berjejer. Warna dan ukurannya nyaris seragam. Hijau lumut dengan ukuran 4x4 meter. Agar air hujan tak masuk, mereka membuat balai papan setinggi 30 sentimeter di dalam tenda. Di sanalah mereka merebahkan diri sekaligus meletakkan barang-barang.

Satu tenda dihuni beberapa orang. Ada yang sekeluarga. Ada juga yang lebih dari dua keluarga. Semua bercampur dalam satu tenda, anak-anak dan orang tua. Suami, istri, dan mertua.

Mengungsi di tenda ternyata tak berarti dunia berhenti berputar. Kehidupan tetap berjalan. Kendati tinggal di tenda, bayi-bayi tetap lahir. Tetap banyak perempuan pengungsi yang berbadan dua.

Setiap saya “nongkrong” di pengungsian, saya mendapati banyak jemuran pakaian yang digelantungi popok dan gurita untuk bayi. Bahkan terkadang saya berpapasan dengan ibu yang sedang hamil tua di antara tenda-tenda.

Tenda pengungsi asal Aceh Jaya salah satunya. Kabupaten ini adalah salah satu daerah yang paling parah terkena tsunami karena terletak di pesisir. Posisinya sekitar 120 kilometer ke arah  barat Banda Aceh.

Ada sekitar 150 kepala keluarga (KK) asal Aceh Jaya yang kini masih mengungsi di Banda Aceh. Mereka tak berani kembali ke daerahnya yang sudah hancur. Dan karena mereka merupakan pengungsi pendatang, mereka belum berhasil mendapatkan rumah bantuan.

Pengungsi Aceh Jaya tinggal di tenda yang nyaris lapuk karena sudah setahun ditempati. Sudah tiga kali mereka nomaden, berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain karena digusur empunya tanah. Pengembaraan mereka berakhir sementara di sebuah lapangan, tepat di samping Jalan Raya Lampeneurut, Banda Aceh.

Saya bertemu Munarwati di suatu siang terik. Dia terbuka dan ramah. Umurnya 30-an, tetapi wajahnya penuh kerut yang membuat dia terlihat lebih tua dari usia sesungguhnya.

Munarwati berkulit hitam dan bertinggi tubuh sedang. Dia tinggal di pengungsian itu bersama suami dan dua anaknya.

“Syafiie adalah suami kedua Munarwati, suami sebelumnya sudah meninggal juga anak bungsunya,” kata Rahmawati, tetangga Munarwati kepada saya.

Syafiie bekerja di bengkel. Mereka bertemu di pengungsian dan saling tertarik. Syafiie duda tanpa anak. Munarwati janda. Klop sudah.

Akhirnya di bulan Agustus 2005 yang cerah, dua sejoli ini memutuskan menikah di pengungsian.  Rahmawati, sang tetangga, juga hadir di pernikahan mereka.

Setelah menikah, Munarwati beruntung tidak usah berbagi tenda dengan orang lain. Tendanya pun tak jauh dari mushala pengungsian. Di sanalah dia mencari angin bila kepanasan di tenda.

Kini Munarwati sedang hamil tua. Daster warna merah marun yang lusuh itu tak mampu menutupi perutnya yang membesar. Dia terlihat kurus, lelah, dan kepanasan.

“Dua bulan lagi saya melahirkan,” katanya kepada saya.

Selain  Munawarwati, ada 10 ibu di pengungsian tenda warga Aceh Jaya yang juga sedang hamil. Dari 224 pengungsi perempuan yang terdiri dari orang dewasa, remaja, dan anak, sepertiga adalah ibu-ibu. Artinya, seperdelapan dari mereka sedang mengandung.

“Tinggal di tenda bukan berarti tidak bisa punya anak,” kata Rahmawati.

Menurut Rahmawati, para pasangan suami istri tetap bisa melakukan kewajiban mereka kendati tinggal di tenda. Apalagi para pengungsi di sekitar itu bukanlah tipe yang suka mengintip isi tenda orang lain.

“Asal pintar melihat waktu dan jangan lama-lama,” sambung Munarwati yang duduk di sisi Rahmawati sambil cekikikan.

Tenda-tenda itu terbuat dari terpal tebal yang kasar. Kebanyakan terpal tenda mulai berlumut.

Kendati demikian, cahaya lampu dalam tenda sudah pasti akan menampakkan aktivitas penghuninya. Sehingga saya yakin para pasangan akan berpikir dua kali untuk “berkasih-kasihan” di dalam tenda pada malam hari.

Menurut Munarwati, biasanya pasangan suami istri memilih untuk “berduaan” di siang hari atau setelah semua anggota tenda beraktivitas di luar.

Karena tenda tidak memiliki pintu, mereka tinggal menutup tenda. Kalau sudah demikian, tenda mereka tak akan dihiraukan warga. Sang empunya dianggap sedang pergi.

“Pokoknya pintar-pintarnya kita deh,” kata Munarwati lagi.

Para ibu saya lihat mengangguk-angguk seolah mengiyakan pernyataan Munarwati tadi. Beberapa di antara mereka tersenyum malu.


MESKIPUN hamil, Munarwati tak pernah mendapat bantuan gizi untuk orang hamil.  Munarwati jarang minum susu kecuali cokelat Milo yang dibelinya di warung dekat tenda.

Dia juga tak pernah ke rumah sakit untuk periksa kehamilan. Ada dokter yang datang setiap bulan ke tenda pengungsi Aceh Jaya.
Mereka berasal dari Berkat Indonesia, CARE, atau International Catholic for Migrant Commision. Tapi tak ada dokter khusus yang bisa menangani orang hamil.

Akibatnya di pengungsian Aceh Jaya sudah enam ibu yang keguguran di usia  kandungan mereka mencapai tiga sampai empat bulan. Para ibu ini tak paham penyebabnya.

“Tahu-tahu saja dan serba mendadak,” kata Ina, yang terpaksa kehilangan calon anaknya.

Ina masih lebih beruntung karena tidak perlu menghabiskan biaya banyak seperti Erlita.

Erlita keguguran di usia kandungan tujuh bulan. Dia dibawa ke puskesmas terdekat dan karena bidan tidak mampu menanganinya, Erlita terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Bunda, Banda Aceh untuk dioperasi.

Dia harus membayar  Rp 1.150.000.

“Kami terpaksa hutang sana hutang sini,” kata Erlita kepada saya.

Saya mengunjungi Erlita tepat saat kepulangannya ke tenda setelah operasi itu. Mukanya masih pucat dan tangannya gemetar saat mempersilahkan saya minum. Matanya merah saat saya bertanya mengapa dia bisa kehilangan kandungannya.

“Terlalu panas atau juga karena sanitasinya,” katanya, pelan.

Tinggal di pengungsian berarti harus siap dengan kondisi lingkungan yang buruk. Setidaknya itu diakui para pengungsi. Mulai dari kamar mandi darurat harus digunakan ramai-ramai hingga air yang terkadang kurang layak pakai.

Atau keguguran karena kurang gizi?

“Saya beli susu dengan uang sendiri. Karena susu mahal, jadi kalau tidak ada uang ya tidak beli,” katanya, sambil tersenyum pahit.

Dengan banyaknya kasus keguguran di tenda pengungsian, kini Munarwati berharap-harap cemas menanti kehadiran si buah hatinya. Dia mengaku hingga saat ini belum ada masalah yang serius kecuali merasa kepanasan. Lagipula lokasi bidan terletak “hanya”  dua kilometer dari tenda mereka.

“Saya sudah men”carter” becak bila bayi saya akan lahir,” kata Munarwati sambil tersenyum lebar sambil menunjuk sebuah becak di dekat tenda.


DI bulan-bulan awal tsunami, saya melihat banyak klinik kesehatan tersebar di tenda atau barak pengungsian. Namun setelah setahun tsunami, klinik itu banyak yang menghilang, terutama di kawasan tenda pengungsi.

Bila di tenda pengungsi warga Aceh Jaya, masih ada dokter yang datang setidaknya setiap satu bulan. Di Pengungsian Mon Ikeun Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, justru jarang disentuh petugas kesehatan.

Dulu ada rumah sakit tenda milik pemerintah Turki di situ. Kini rumah sakit darurat tersebut sudah dibongkar. Masa tugas tim medisnya sudah berakhir.

Sekitar 200 KK di  pengungsian Mon Ikeun pun kehilangan tempat berobat.

Saya tak berhasil mendapatkan data jumlah ibu hamil dan kelahiran di  pengungsian ini. Namun dari ibu-ibu pengungsi saya mendapat informasi kalau selama  setahun ini sudah terjadi 10 kali kelahiran dan kini ada enam perempuan yang tengah hamil.

Marina adalah salah seorang ibu yang memiliki bayi di pengungsian. Saat akan melahirkan Marina dibawa ke rumah sakit umum Zainal Abidin yang terletak 20 kilometer dari Mon Ikeun. Beruntung bayinya lahir selamat. Bayi perempuan yang kini berusia empat bulan itu diberi nama Ainal Mardiyah yang artinya ‘bidadari surga’.

Dia juga berusaha meringankan beban suaminya yang bekerja serabutan. Marina berjualan jagung bakar di depan tenda para pengungsi tiap sore, di sela-sela kesibukannya mengasuh Ainal yang suka rewel.

“Meskipun sedang hamil atau sudah punya bayi, kami harus lebih kuat daripada sebelum tsunami. Kami ‘kan harus bekerja mencari uang, mengasuh keluarga dan memasak. Tidak mungkin bermanja-manja,” katanya, dengan mata menerawang.


*) Nani Afrida adalah kontributor untuk sindikasi Pantau di Aceh

Partai Gabthat



KALIMAT “Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasullallah (aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah)” itu tercetak  dalam bentuk kaligrafi di stiker yang ditempel di tembok rumah. Selain itu, ada stiker lain yang bertuliskan “PEUREUTE GABTHAT”.

Rumah ini memang kantor sekretariat Dewan Pimpinan Pusat Partai Gabthat. Letaknya di daerah Lamseupeung, Krueng Aceh, Banda Aceh.  Gabthat kependekan dari Generasi Atjeh Beusaboh Tha’at dan Taqwa.

Sabtu siang itu, 3 Mei 2008, sejumlah
orang berkumpul di ruang tamu yang terasa sesak. Bendera partai dipajang di situ. Teungku Ahmad Tajuddin duduk di kursi di hadapan mereka dan kelihatan serius membahas soal-soal organisasi.

“Pak, lon wartawan. Reuncana jih  wawancara Bapak siat teuntang Peureute Gabthat (Pak, saya wartawan. Rencananya mau wawancara Bapak tentang Partai Gabthat,” kata saya kepadanya.

“Dek, neuhei Abi mantong keu Teungku (Dik, panggil Abi saja kepada Teungku),” pinta Teungku Abdul Samat pada saya. Dia
adalah Panglima Garda Partai Gabthat, organisasi pemuda partai tersebut.

Abi Lampisang. Itulah panggilan yang populer bagi Teungku Ahmad Tajuddin. Lampisang tak lain dari nama desa di Seulimum, Aceh Besar. Dia lahir pada
15 September 1962 di desa itu. Ayahnya, Teungku Abdullah, pemimpin dayah atau pesantren Lampisang. Setelah sang ayah meninggal dunia, dia menggantikan ayahnya memimpin dayah Lampisang.

Pada 1998, pasca pemerintahan Soeharto dan pencabutan status Daerah Operasi Militer atau DOM di Aceh, dia menggelar dakwah akbar yang dihadiri ribuan jamah di dayahnya.

Tak ayal lagi, dakwahnya dianggap pemerintah Jakarta sebagai doktrin-doktrin Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Dia pun jadi incaran militer Indonesia.

“Watee nyan dakwah lon  isi jih teuntang peumbinaan akhlakulkarimah (akhlak yang baik) keupada masyarakat (Waktu itu dakwah saya isinya tentang pembinaan akhlakulkarimah kepada masyarakat,”  tuturnya.

Dia sempat tinggal berpindah-pindah, karena merasa keselamatannya terancam. Akibatnya, dayah Lampisang sempat terbengkalai.

Perjanjian damai antara pihak GAM dan pemerintah Indonesia pada  15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, telah membuka lembaran baru bagi Aceh, termasuk bagi lelaki ini. Perjanjian tadi melahirkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 tahun 2006 atau populer disebut UU PA. Undang-undang itu menyebutkan bahwa  orang Aceh diberi keleluasaan dalam berserikat dengan membentuk partai lokal.

Dia dan beberapa kawannya, seperti Teungku Azhari, Teungku Hamdani Lampisang,  dan Teungku Muhammad Samalanga, memanfaatkan peluang ini. Mereka sepakat mendirikan partai yang kemudian dinamai Partai Gabthat. Dalam bahasa Indonesia, “gabthat”  berarti “kokoh“ atau “kuat sekali”.

Gabthat jadi partai lokal kedua yang dideklarasikan di Aceh. Sebelumnya, pada 2 Maret 2006, Partai Rakyat Aceh atau PRA yang dikomandani  para aktivis muda jadi partai lokal  pertama yang mendeklarasikan keberadaannya.

Sebenarnya Gabthah sudah berdiri pada 4 Desember 2005, tapi belum berbentuk partai, masih berstatus yayasan pendidikan.

Pada 21 Maret 2007, deklarasi Gabthat sebagai partai dilaksanakan di makam Sultan Iskandar Muda. Mereka yang hadir saat itu kebanyakan anggota Himpunan Ulama Dayah (HUDA), mantan GAM, anggota Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA), dan utusan dayah.  Makam Iskandar Muda dianggap menjadi simbol kejayaan Aceh.

“Kamoe ingin meuba Aceh seuperti jameun Sultan Iskandar Muda (Kami ingin membawa Aceh seperti zaman Sultan Iskandar Muda),” katanya.

Partai Gabthat dalam strukturnya juga berpedoman pada struktur pemerintahan Aceh tempo dulu. Imeum Chik merupakan sebutan bagi pemimpin tertinggi partai ini.

Orang Aceh mengibaratkan pemerintahan Sultan Iskandar Muda dalam sebuah hadis maja atau peribahasa Aceh.


Adat bak Poe Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala
Qanun bak Putroe Phang, Reusan bak Lakseumana

Pou Teumeureuhom
sebagai pemegang kekuasaan. Syiah Kuala sebagai pemegang hukum syariat atau agama, yang mewakili ulama.

Qanun adalah perundang-undangan yang berdasarkan hukum agama. Reusam melambangkan tatanan protokoler atau  adat-istiadat. Semua unsur  ini mengacu ke satu asas, yaitu ”agama  ngon adat, lagei zat ngon sifeut  (agama dan adat, seperti zat dengan sifat)”.

Partai Gabthat memiliki lima asas, yaitu bertuhan dengan Allah SWT, bernabi dengan Nabi Muhammad SAW, berpedoman dengan Alquran dan hadist, berakidah dengan ahlus sunnah waljamaah dan bermahzhab Syafi’i.


Ahlus sunnah waljamaah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi dan sunnah sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

“Peureute Gabthat, peureuteu ulama dan peureuteu Islam (Partai Gabthat adalah partai ulama dan partai Islam),” ujar Teungku Abdul Samat, sambil mengisap rokoknya.


SELASA malam, 6 Mei 2008. Teungku. Azhari duduk di sebuah warung kopi yang baru diperbaiki. Sesekali tangannya sibuk memencet tombol telepon seluler miliknya. Dia kelahiran Meureudu, kabupaten Pidie Jaya. Pada 12 Desember nanti dia akan berusia 37 tahun.

Dia menjabat wakil ketua Dewan Syura Partai Gabthat. Dewan ini mengatur kebijakan partai.

Pembawaannya tenang. Tidak mirip politisi yang penuh muslihat. Sebelum aktif di Gabthat, dia tak pernah terlibat di partai politik.

“Peu nyan neuk tanyong bak lon (Apa yang mau ditanyakan pada saya),” katanya.

Saya bertanya tentang banyaknya mantan GAM di Gabthat dan mengapa mereka tak bergabung dengan Partai GAM saja (GAM = Gerakan Aceh Mandiri. Kelak Partai GAM bertukar nama lagi, menjadi Partai Aceh).

“Tidak seide, mungkin itu permasalahannya. Bukankah perbedaan pendapat itu rahmat?” katanya.

"Meski secara stempel (kelembagaan) Partai Gabthat memang bukan partainya Gerakan Aceh Mandiri, tapi tokoh-tokoh yang sekarang di Gabthat itu adalah orang-orang perjuangan juga alias Gerakan Aceh Merdeka. Setelah perjanjian damai yang namanya Gerakan Aceh Merdeka telah dibubarkan. Ini kan kita lagi pada masa transisi dari perjuangan (di masa) konflik ke perjuangan politik. Lihat itu. Bukan pada personal dalam Partai Gabthat,” jelasnya.

Sekarang Gabthat punya cabang di 15 kabupaten dan kota, dan di 93 kecamatan yang tersebar di seluruh Aceh.

Menurut sang pemimpin, Teungku Ahmad, Gabthat akan bermain di tingkat lokal dan belum memikirkan kolaborasi dengan partai nasional.

“Untuk pusat (nasional) koh taloe hidong (potong tali hidung), artinya belum bisa menceritakan hal itu,” katanya di lain kesempatan kepada saya.

Keberadaan Partai Gabthat di kalangan anak muda Aceh juga belum populer. Setidaknya hal itu yang diungkapkan Fakhrulrazi, seorang pemuda yang saya jumpai di sebuah warung nasi di tepi jalan Neusu, Banda Aceh.  Dia tak tahu apa-apa soal Gabthat.

“Nyan lon teupeu, peureute GAM ngon PRA (Yang saya ketahui, partai GAM dengan PRA),” jawabnya, sambil menikmati makan malamnya.

Kini proses verifikasi Gabthat oleh kantor wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Aceh memasuki tahap akhir, yakni peninjauan akan keberadaan partai Gabthat di setiap kabupaten atau kota di Aceh. Bila lulus, maka partai ini berhak memeriahkan pemilihan umum legislatif di Aceh tahun depan.***



*) Jufrizal adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Aceh. Ia mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh.

Mengenang Teungku Abdullah Syafiie

Hari Ahad, 6 Agustus 2000, Panglima Perang AGAM, Teungku Abdullah Syafiie, mengunjungi salah satu salah satu markas GAM di pedalaman kabupaten Pidie. Di markas yang berjarak beberapa kilometer dari perkampungan penduduk tersebut berkumpul sekitar 500 prajurit AGAM.

“Sejak perjanjian Jeda Kemanusiaan diteken di Swiss 12 Mei lalu, semua pasukan AGAM kawasan barat Pidie berkumpul di markas ini,” kata seorang tokoh GAM di sana.  Tokoh AGAM yang menolak disebutkan identitasnya itu mengaku selama ini mereka menjalani latihan fisik dan pendalaman ajaran Islam, pengkajian ilmu politik, serta sejarah perjuangan bangsa-bangsa dunia melawan penjajahan. 

Panglima Komando Pusat AGAM, Teungku Abdullah Syafiie, dalam amanatnya berbahasa Aceh ketika meninjau markas GAM tersebut, antara lain, menyatakan, “Masa telah berubah. Strategi perang secara militer sudah ketinggalan zaman. Sekarang, bangsa Aceh harus pintar mengurus masalah-masalah diplomasi di dunia internasional. Sekarang, perang yang paling berat adalah perang politik dan diplomasi.” 

Sesama bangsa Aceh, wejang Abdullah Syafiie kepada prajuritnya, kita harus benar-benar saling setia. Tentara Aceh Merdeka harus bersikap seperti tentara Islam. Jangan meniru sifat kaum penjajah. Jangan ambil contoh pada kaum imperialis dan kolonialis. “Jangan sampai saya dengar ada tentara Aceh Merdeka yang lebih kejam daripada tentara penjajah itu,” ujarnya mewanti-wanti. 

Hari ini, kata Abdullah Syafiie, tentara AGAM mendapat dukungan penuh dari rakyat Aceh. Baju yang mereka pakai milik rakyat Aceh. Makanan pun diberikan oleh rakyat Aceh. “Pulang jasa keu bangsa Aceh. Bek gata krang ceukang. Dengon bangsa droe teuh, bah that tatheun talo bacut gata hana hina. Yang bek ta tem talo ngon musoh teuh bangsa penjajah,” ujarnya dalam bahasa Aceh yang fasih. 

Tentara AGAM, menurut Abdullah Syafiie, adalah anak-anak rakyat Aceh. Oleh karena itu, ia minta jangan sampai jadi pengkhianat terhadap rakyat Aceh. Jangan sampai ada tentara AGAM yang memarah- marahi masyarakat. “Kalau ada di antara tentara Aceh Merdeka yang mengancam bangsa Aceh, akan kami kenakan sanksi militer,” tegasnya bernada mengancam.

Setiap tindakan pasukan AGAM, diingatkan juga harus mematuhi aturan-aturan perang, jangan sampai bertentangan dengan aturan perang (Hukum Humaniter Internasional) dan hak-hak asasi manusia. Hukum-hukum tersebut agar terus dipelajari, jangan sampai ada tentara AGAM yang melanggarnya. “Dengan tidak ada pelanggaran- pelanggaran terhadap hukum tersebut, insya Allah, Aceh akan segera merdeka,” katanya. 

Sekarang, lanjut Abdullah Syafiie, bukan zamannya lagi kita berperang dengan senjata. Kita harus mampu memerdekakan Aceh melalui perang politik dan diplomasi. “Dengan penandatangan JoU di Swiss, kemerdekaan sudah kita raih 50 persen,” simpulnya.

  Abdullah Syafiie mengatakan untuk sementara ini kepada pasukan AGAM tidak diberikan senjata. “Senjata akan diberikan kembali nanti setelah Aceh sudah merdeka, tujuannya untuk mempertahankan kemerdekaan. Kalau hari ini kami kasih senjata, nanti negeri Aceh akan menjadi debu,” katanya. 

Sekarang, kata Abdullah Syafiie melanjutkan, perjuangan untuk memerdekaan Aceh, 80 persen harus dilakukan melalui politik dan diplomasi. Hanya 20 persen boleh dengan kekuatan militer. “Itu pun jika dipandang perlu,” katanya.  Abdullah Syafiie mengharapkan seluruh tentara Aceh Merdeka agar sungguh-sungguh mempelajari hukum-hukum internasional. Tidak akan menang sebuah perang dengan hanya mengandalkan kekuatan militer.

“Sebuah perang akan menang dengan kekuatan-kekuatan hukum, kekuatan politik, dan kekuatan diplomasi,” wejangnya. Walaupun demikian, ujar Abdullah Syafiie, jika perang secara militer terpaksa dilakukan, maka diingatkan tidak ada seorang pun tentara AGAM yang mundur dari medan pertempuran.

“Akan tetapi, kalau memang dipandang perlu, bukan hanya kepada tentara laki-laki, kepada yang perempuan pun akan diberikan bedil,” katanya. Oleh karena itu, Abdullah Syafiie meminta kepada tentara AGAM agar tidak takut kalau sesewaktu dipanggil untuk berperang. “Sudah berapa banyak bangsa Aceh ditangkap, dianiaya, dibunuh, dan diperkosa. Daripada berputih mata, lebih baik berputih tulang berkalang tanah,” ujarnya bersemangat. 

Abdullah Syafiie sangat optimis bahwa bangsa Aceh akan kembali merebut kemerdekaan. “Bangsa Aceh sanggup mengusir penjajah Belanda, kenapa yang lain tak sanggup?” tanya dia. “Coba lihat, bagaimana bangsa Vietnam sanggup mengalahkan Amerika. Begitu juga semangat jihad bangsa Afghanistan, sanggup mengalahkan negara raksasa Uni Soviet,” katanya menunjuk contoh.

 Abdullah Syafiie mengakui bahwa dalam hukum internasional, negara Aceh memang belum berdiri. Akan tetapi, dunia internasional, katanya, sudah memberikan perhatian terhadap perjuangan kemerdekaan Aceh. “Hari ini, ada bangsa Aceh sedang bersidang di Swiss membahas penentuan kemerdekaan bangsa Aceh,” katanya. 

Kepada tentara AGAM yang selama ini mendapat pembinaan di markas-markas, Abdullah Syafiie mengingatkan supaya memiliki darah Islam yang pemberani. Menjadi penyuluh masyarakat. Menjadi tongkat dan cermin bagi masyarakat.

“Pekerjaan yang baik tidak boleh berasal dari permulaan yang jelek,” ujarnya berfalsafah.  Pekerjaan bangsa Aceh menegakkan kemerdekaan, menurut Syafiie, dilindungi oleh hukum internasional dan PBB. Ketentuan PBB yang dikeluarkan tahun 1946, mengharamkan penjajahan di atas muka bumi.  Tapi, sampai sekarang masih ada yang menjajah bangsa Aceh. “Penjajahan melanggar keamanan dunia,” tukasnya.

“Setiap bangsa berhak atas kemerdekaan. Demikian disebutkan dalam Universal Declaration of Human Rights. Berdasarkan itu, kita nyatakan kepada masyarakat dunia internasional bahwa kita hendak berhukum dengan sistem hukum sendiri. Masyarakat internasional wajib menerima perjuangan kita karena keinginan kita ini sah,” papar Abdullah Syafiie.

”Anak-anakku semua, jika kalian dengar saudara-saudara kalian sudah mati syahid, segera sambung perjuangannya sampai Aceh merdeka. Begitu juga kalau kalian dengar saya sudah mati syahid, lanjutkan perjuangan ini,” pinta Abdullah Syafiie mengakhiri amanatnya. _ tim kontras  Sumber: Tabloid Kontras No. 97 Tahun II 9 Agustus – 16 Agustus 2000