Doa "Adik" Cristiano Ronaldo Dari Tibang

Senyum fans "Setan Merah" Manchester United bukan hanya milik penghuni The Theatre of Dreams. Bocah ajaib dari Tibang, Martunis

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kearifan dari Ujung Sumatra…

"Umong meuateung, lampoh meupageu, rumoh meuadat, pukat meukaja"

BAHARUDDIN nama pria itu. Usianya lima tahun lagi baru genap setengah abad. Posisinya Panglima Laot Lamteungoh, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Sudah lima tahun terakhir 'jabatan' adat itu di pundaknya. Tugas adatnya sedikit berat.

Bahar, begitu dia disapa juga rangkap 'jabatan'. bukan hanya dikenal sebagai Panglima Laot. Dia juga keusyik atau kepala desa di kampungnya."Saya hanya menjalankan kepercayaan masyarakat," katanya kepada Waspada di Desa Lamteungoh baru-baru ini.

Kepercayaan itulah yang terus dilakoni pria yang seluruh anggota keluarganya tewas dalam musibah dahysat tsunami. Gelombang gergasi itu merenggut semuanya. Tapi tidak semangat hidup lelaki kulit gelap itu. Tugasnya adalah menegakkan aturan adat untuk para nelayan.

Semangat itulah yang dia usung untuk menjaga kembali lingkungannya pascatsunami. "Umong meuateung, lampoh meupageu, rumoh meuadat, pukat meukaja—sawah ada pematangnya, kebun ada pagarnya, rumah ada tata tertibnya dan jaring ada tandanya," tukasnya sembari mengutip sebuah petitih Aceh.

Karena itu, pascatsunami dia berharap, untuk mengelola kembali lingkungan Aceh, semua elemen perlu berpaling ke belakang. Ada kearifan lokal yang dilanggar. "Aceh punya pola sendiri dalam mengatur masalah ini," ujarnya.

Kearifan yang dimaksud Bahar—begitu dia disapa, bukan hanya di laut, tapi di blang (sawah), gle (ladang) dan uteun (hutan). Uniknya, masing-masing 'lembaga' adat itu punya struktur tersendiri. "Ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Aceh dipimpin Iskandar Muda," sambung Pawang Hasan, Panglima Laot Lhong, Aceh Besar.

Dalam tatanan adat itu, nama di laut disebut Panglima Laot, Keujruen Blang di sawah, Peutua Seuneubok di ladang dan Pawang Uteun atau Panglima Uteun untuk yang mengawasi di hutan. "Selama ini yang masih eksis hanya Panglima Laut," kata Sulaiman Tripa, seorang peneliti masalah kebudayaan lokal di Aceh.

Katanya, lembaga-lembaga inilah yang punya wewenang untuk menjaga wilayah masing-masing. "Peutua Seuneubok itu punya wewenang untuk menjaga pinggiran hutan agar tak ditebang sembarang lalu dijadikan ladang," papar dia.

Peutua Seuneubok, tambah penulis Aceh itu juga bertugas mengawasi pembukaan ladang-ladang baru oleh masyarakat. "Masyarakat tak boleh sembarangan membuka ladang baru tanpa sepengetahuan Peutua Seuneubok," jelasnya.

Hal yang sama juga berlaku di sawah. "Keujruen Blang-lah yang mengatur masalah pembagian air bagi petani di sawah. Dia juga yang mengatur kapan warga turun ke sawah dan bagaimana teknik pembagian airnya," sambung dia.

Panglima Laot Provinsi Aceh, HT Bustaman malahan menilai, jika kearifan lokal yang sudah disebutkan tadi berjalan, "Saya kira sangat membantu pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan di dalam kehidupan masyarakat," tambahnya.

Pawang Zakaria dari Krueng Raya, Aceh Besar juga mengatakan hal yang sama. "Bila semua komponen adat ini bisa berjalan normal, saya yakin tak perlu khawatir dengan lingkungan Aceh. Unsur inilah yang perlu dilibatkan dalam melestarikan lingkungan di Aceh," urai pria yang juga Panglima Laot itu.

Menurutnya, jika manusia tak serakah dan taat pada ketentuan adat, maka tak perlu dikhawatirkan. "Kalau kita taat pada adat, tak akan kejadian seperti di Aceh Tamiang," tukas dia. "Kearifan-kearifan itulah yang perlu dilestarikan," timpal Haikal, seorang aktivis Aceh lainnya.

Memang, sekira 23 Desember 2006 lalu, enam kabupaten di Aceh diserang banjir. Daerah itu adalah Aceh Tamiang yang melanda 12 kecamatan, Aceh Timur (5 kecamatan), Aceh Utara (16), Bener Meriah (3), Gayo Lues (5), dan Bireuen (3).

Data yang dilansir Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh belum lama ini menyebutkan tiap tahunnya hutan Aceh terus mengalami pengurangan luas akibat deforestrasi yang mencapai kurang lebih 20.796 ha per tahun. Selama tahun 2005-2006 diperkirakan deforestasi hutan Aceh mencapai angka 266.000 ha atau setara empat kali lipat luas Singapura dengan luas degradasi mencapai 2,2 juta ha, setara 44% dari total luas daratan Aceh.

Menurut Walhi, laju pengurangan luas hutan ini disebabkan oleh makin tingginya aktivitas pembalakan liar yang dipicu oleh proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Kerusakan hutan ini juga diikuti oleh rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Aceh, kurang lebih 46,40% atau 714.724,38 ha DAS di Provinsi Aceh mengalami kerusakan dari 1.524.624,12 ha total luas DAS di Aceh.

Masih menurut lembaga pemerhati lingkungan itu, Banjir yang terjadi di tujuh daerah Aceh akhir tahun lalu juga disebabkan oleh rusaknya empat DAS yang mengaliri daerah tersebut, yaitu DAS Peusangan di Kabupaten Aceh utara, DAS Tripa di Kabupaten Gayo Lues, DAS Tamiang di Kabupaten Aceh Tamiang, dan DAS Jamboaye di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara.

"Kerusakan empat DAS tersebut rata-rata telah mencapai 50 persen," kata Dewa Gumay dari Divisi Kampanye dan Advokasi Walhi Aceh. "Kerusakan hutan dan DAS tersebut dipicu oleh maraknya aktivitas pembalakan liar."

Baharuddin sendiri merasa prihatin ketika diperlihatkan data-data yang ditelaah Walhi itu. Dia hanya berkata singkat, "Kita semua salah. Mungkin tak ada salahnya jika untuk membendung keserakahan kita dengan kearifan yang sudah hidup turun temurun di masyarakatnya," imbuhnya. [Munawardi Ismail] 27/02/07

Doa "Adik" Cristiano Ronaldo Dari Tibang

SENYUM fans "Setan Merah" Manchester United bukan hanya milik penghuni The Theatre of Dreams. Bocah ajaib dari Tibang, Martunis turut merasa aura bahagia yang terpencar dari Old Trafford. Bagaimana tidak, salah seorang bintangnya "Red Devil" adalah "teman" akrab bocah itu. Siapa lagi kalau bukan Cristiano Ronaldo.

Ya, Ronaldo saat ini sedang menikmati kegemilangannya bersama Manchester United. Gelar juara Premiership pun sudah digondolnya. Bukan cuma itu, sebelumnya
Ronaldo sudah meraih empat penghargaan yakni Pemain Terbaik dan Pemain Muda Terbaik pilihan pemain Premiership, Pemain Terbaik pilihan fans dan Pemain Terbaik pilihan wartawan.

Ternyata, raihan itu semua tak luput dari pantauan anak Aceh yang dijuluki "Bocah Ajaib" oleh sebuah tabloid olahraga di Ibu kota. Setiap "tarian" anak muda Portugal di lapangan hijau tak luput dari pantauannya. "Kadang-kadang saya harus bergadang," ujar Martunis, 10, kepada Waspada, Minggu (6/5) petang.

Martunis terpaksa bergadang, karena menyesuaikan jadwal main tim "Setan Merah" yang sering larut malam untuk waktu Indonesia. "Pokoknya setiap Ronaldo main, dia selalu ingin nonton," timpal ayah Martunis, Sarbini saat menerima Waspada dan SCTV di kampungya Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.

Martunis dan Ronaldo punya hubungan "khusus". Ceritanya, ketika Nanggroe Aceh Darussalam dihempas tsunami pada 26 Desember 2004 silam, anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Sarbini dan Salwa ini diseret arus ganas ke kawasan Pantai Kuala, yang tak jauh dari Makam Syech Abdurrauf As-Singkily.

Saat ditemukan di makam ulama besar Aceh yang dikenal dengan sebutan Syiah Kuala itu, di tubuh Martunis masih melekat kostum duplikat tim nasional Portugal. Kostum nomor 10 yang bertuliskan nama Rui Costa itu dia kenakan sebelum musibah dahsyat tersebut menggerus Aceh, biasa sebelum gempa, pagi itu dia sedang main bola dengan teman-temannya.

Baju tim sepakbola dari Eropa Timur itulah yang kemudian menggetarkan Cristiano Ronaldo. Singkat kata, Martunis pun diundang ke negara tersebut, 30 Mei - 4 Juni 2005. Dalam lawatan itu, Martunis dan Sarbini disambut bak pahlawan pulang perang. Dia pun ikut menyaksikan laga Portugal kontra Slovakia, yang dimenangkan Ronaldo Cs dengan skor 2-0.

Lantas, sepekan kemudian giliran Ronaldo yang melakukan "kunjungan balasan" ke Aceh. Setelah keliling melihat Aceh yang remuk dilindas tsunami, Ronaldo pun bersua kembali dengan Martunis di Lapangan Neusu Banda Aceh serta Bandara Blangbintang.

Pertemuan, keduanya bagaikan reuni keluarga antara abang dan adik. Kendati pun keduanya harus banyak bicara dengan bahasa "tarzan".
Lantas, keduanya juga saling tukas nomor telepon. "Kini ngak ada lagi no hpnya, sudah hilang dicuri," kata Martunis dalam bahasa Aceh.

Untuk melepas kerinduan kepada "abangnya", Martunis kerap menonton MUTV yang selalu menayangkan aksi lapangan skuad Manchester United. "Kadang-kadang juga nonton ESPN dan Starsport," jelas Tunis seraya yang diamini ayahnya.

Sama seperti Minggu kemarin, selepas bermain bola dengan anak-anak seusianya yang diliput televisi swasta nasional, Tunis langsung pulang menyetel televisi guna menonton aksi ciamik Ronaldo. "Saya paling suka melihat Ronaldo dalam menggiring bola," kata anak yang memfavoritkan Manchester United ini.

Karena itu, Martunis dan rekan-rekannya berharap suatu saat Ronaldo bisa mengajari mereka dalam mendribel bola serta teknis-teknis sepak bola. "Saya masih berharap bisa ketemu lagi dengan 'abang' Ronaldo. Kalau ngak datang ke Aceh, mungkin di Portugal," harap siswa kelas V SD Negeri Tibang itu.

Selain berharap bisa bersua melepas rindu, Tunis mengaku selalu berdoa agar tim yang dibela Ronaldo meraih kemenangan dalam setiap laga. Makanya, tak heran bila senyum Martunis selalu sumringah saat kemenangan berpihak pada Ronaldo. "Saya memang memfavoritkan Portugal, Ronaldo dan timnya Manchester United," tukas dia.

Bagaimana kalau Ronaldo pindah klub? Tanpa ragu Tunis menjawab akan selalu mendukung Ronaldo dan tim yang dibelanya. Namun, akan lain cerita jika pemilik nomor punggung 17 di tim nasional Portugal ini ganti warga negara. Martunis akan pikir-pikir dulu. "Tapi saya tetap dukung Portugal," tandasnya.

Pun demikian, doanya untuk Ronaldo akan terus mengalir, selama pria tampan itu masih kuat menari-nari di lapangan hijau. "Bukan hanya sebatas dukungan, doa pun senantiasa menyertai langkah Ronaldo." sambung Sarbini, orang tua Martunis. [Munawardi Ismail]07/05/07

Meretas Jalan Menuju Kemakmuran...

SYAMSUDDIN Ibrahim menyapu wajah tuanya dengan selembar handuk putih. Dia menarik nafas panjang. Beban berat lepas sudah. Lima menit sebelum itu, dia bersama rekan-rekannya baru saja kerja keras; mendorong satu unit truk colt yang terperangkap di jembatan rusak. "Jalan ini sudah 16 tahun kami lalui, belum ada yang berubah," katanya.

Waktu 16 tahun bukan masa nan singkat bagi Syamsuddin yang sudah berusia 66 tahun itu. Jika bukan karena mencari sesuap nasi, mustahil dia menerobos jalan ini. Syamsuddin memang tidak sendiri, ada Abu Ismail, 45, Sulaiman Daud, 50, serta rekan-rekannya, tiga di antaranya perempuan. Semuanya pedagang keliling.

"Kami sudah rutin, seminggu sekali lewat jalan ini," timpal Abu Ismail, warga Caleue, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie. Rombongan dagang ini baru saja pulang berjualan di Lampanah, Leungah dan Lamteuba. Sebuah kemukiman terpencil dekat pesisir di Kecamatan Seulimeum, Aceh Besar.

Makanya, menerobos lumpur dan melewati semua aral di jalan sudah biasa bagi mereka. Salah satu kawasan yang sedikit berat dilaluinya adalah Seupeng Raya, Biheue, Kecamatan Muara Tiga, Pidie. Daerah ini berbatasan langsung dengan kemukiman Lampanah-Leungah Aceh Besar.

Jalan yang kerap dilintasi "kabilah" dagang itulah yang dipantau rombongan Komisi D DPR Aceh dan Kepala Dinas Prasarana Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Dimulai dari Krueng Raya melintasi Lampanah-Leungah, menerobos Laweung lewat Batee, sampai ke Tibang, Kecamatan Pidie. Panjangnya 73 kilometer.

Ada agenda besar untuk jalur alternatif yang masih berstatus jalan provinsi ini. Agenda itu bukan hanya membebaskan kawasan itu dari keterisoliran, akan tetapi pengembangan kawasan. "Kalau Pelabuhan Malahayati selesai dan jadi pelabuhan ekspor-impor, jalan ini menjadi jalur alternatif," kata Ridwan Husen, Kadis Praswil kepada wartawan, Minggu (13/5).

Katanya, untuk truk jenis trailer yang bertonase besar akan melintasi jalur ini. "Jadi mereka tidak perlu melintasi lagi jalan Seulawah," kata dia yang diamini Ketua Komisi D DPR Aceh, Sulaiman Abda dan anggotanya Basrun Yusuf.

Harapan ini disambut dengan baik oleh wakil rakyat. "Jalan ini bisa dijadikan sebagai lintasan untuk truk barang, sehingga memperkecil kerusakan jalan lintas Seulawah. Oleh karena itu dukungan BRR dan pemerintah pusat sangat diharapkan," tambah Sulaiman Abda.

Menurut dia, jika pelabuhan Malahayati sudah aktif sebagai pelabuhan kontainer, di mana arus barang dan kendaraan akan meningkat, maka kebutuhan akan pembangunan jalan tersebut menjadi urgen sekali. "Dia menjadi sangat strategis untuk sarana perhubungan darat," katanya.

Nah, untuk mencapai maksud tersebut tak ada pilihan lain, jalan sepanjang 73 kilometer ini harus direhab lagi. Selama ini, sumber dana pembangunan jalan dipesisir itu dari APBD Nanggroe Aceh Darussalam. "Kalau dana ini yang kita ambil bisa bengkak," timpal Anwar Ishak, seorang staf Dinas Praswil.

Karena itu, dia mengusulkan asal status jalan tersebut juga ditingkatkan menjadi jalan negara. "Kalau status sudah masuk jalan negara, sumber pembiayaannya dari APBN. Dana APBD bisa untuk pembangunan sarana yang lain," katanya, sembari lembaga rehab rekons di Aceh mengucurkan dana untuk jalan ini.

Begitu pun, jalan yang bisa dilewati sekarang dianggap bisa menjadi penerobos jalur alternatif ini, selain perlu pengerasan, jalan ini juga baru puluhan meter saja yang beraspal. Namun tahun ini, instansi terkait juga akan melakukan pelebaran. Jika ini sudah dikerjakan, maka ruas yang mulus bukan hanya 20 km dari Krueng Raya saja.

Di jalur Krueng Raya-Tibang ini bukan yang jalan yang penuh lubang. Setidaknya ada tiga jembatan yang juga bernasib sama; rusak. Makanya arus transportasi ke kawasan ini juga minim sekali. Sejak memasuki ruas jalan ini dari Krueng Raya, hanya tiga unit mobil yang melintas dari arah berlawanan.

Selain empat unit mobil rombongan DRP Aceh dan Dinas Praswil, nyaris tak ada kendaraan lain yang menerobos Krueng Raya menuju Pidie. Kecuali milik "kafilah" dagang dari Pidie yang berniaga ke Lampanah-Leungah. Dan itu pun cuma sepekan sekali.

Tentu saja, nasibnya akan berbeda bila jalur tersebut semulus lintasan Seulawah. Selain bakal padat dengan arus kenderaan, juga bisa sekalian refresing dengan panorama pantai sepanjang jalan. Dengan sendirinya warga setempat akan makmur. Setidaknya akan banyak trailer dan "kabilah-kabilah" dagang lain akan melintas.

"Kita harapkan BRR juga menaruh perhatian untuk pembangunan jalan ini. Kontribusinya sangat berarti," sambung Sulaiman Abda.

Kabarnya, jalan sepanjang 73 km itu membutuhkan sedikitnya Rp 210 miliar, jika diaspal hotmix. Mahal memang jalan menuju kemakmuran... [Munawardi Ismail]----------14/05/07

Yang Mengalir Seperti Air Di Tanoh Aceh

MINAT remaja Aceh untuk menulis terbilang tinggi. Menyimak dari hasrat, terlihat menggebu-gebu. Membaca contoh tulisan, tersimpan banyak potensi. Jelas ada bakat yang terpendam. Mereka tak ubahnya bak mutiara berkubang lumpur. Lantas, Seuramoe Teumuleh pun mengangkat "mutiara" dalam lumpur itu.

Cukup beralasan ketika Seuramoe Tumuleh II kembali dimulai. Apalagi putra-putri tanoh Aceh itu punya potensi, ide-ide mereka juga apik. Makanya, bila sedikit saja dipoles, mutiara itupun akan berkilau. Mereka punya segudang ide yang terkadang liar. "Saya tak tahu harus memulai dari mana kalau menulis, sementara ide itu banyak sekali," tukas Aida Yunita, kepada saya ketika itu.

Aida adalah satu dari 100 peserta sekolah menulis; Seuramoe Teumuleh II yang digelar Katahati Institute bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Pendidikan untuk "tukang tulis" yang gratis itu akan berlangsung selama dua bulan. Desember 2006 lalu, kegiatan serupa juga sudah pernah digelar.

Saya yang mendapat "tugas" menyeleksi hampir 200-an calon peserta pada saat wawancara beberapa waktu lalu, menangkap kesan itu. Paling tidak inspirasi calon-calon "tukang tulis" ini cukup cemerlang. Dan yang tak kalah penting adalah mereka kritis.

Daya kritiknya kuat juga. Tapi dari seratusan remaja, mereka malah tertarik untuk mengkritisi penerapan syariat Islam dan perilaku remaja di Serambi Makkah. Ada apa dengan syariat? Salahkah dia? "Saya tertarik menulis syariat Islam yang lagi susah payahnya diterapkan di Aceh," komentar Nurlaila AR, calon peserta yang saya wawancarai.

Dia tertarik bukan disebabkan alasan klasik, karena Islam sudah membumi di tanoh rencong. Nurlaila mengaku melihat syariat Islam itu sudah seperti "benda" asing di Aceh. Ditambah lagi dengan tingkah aparatur pemerintah yang dianggap tebang pilih dalam menerapkan hukum agama itu.

"Kalau rakyat biasa yang salah, langsung diproses dan dipersulit. Tapi coba kalau kelas menengah ke atas, pasti berlarut-larut. Sungguh itu bukan cara terbaik untuk masyarakat. Kalo begini caranya, rakyat akan mengamuk," ulas Nirna Yanti, mahasiswa sebuah lembaga pendidikan di Banda Aceh ini.

Menyimak komentar warga Keutapang ini, saya teringat Taqwaddin, SH, MS, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh ini bilang, syariat Islam di Aceh itu mengandung sifat-sifat air; mencari tempat yang rendah.

"Hukum bagaikan air. Mengalir ke tempat paling rendah, sehingga pada orang rendahan sajalah hukum itu menumpuk," tamsil pria yang juga menamatkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Unsyiah itu. Ironis memang, sejatinya hukum itu berlaku untuk siapa saja, tak peduli dia pejabat atau penjahat.

Tapi, seperti kata Taqwaddin, sebaliknya, hukum itu tidak berlaku bagi orang yang lebih tinggi kedudukan dan jabatannya. "Dengan berbagai dalil, hukum itu seperti menjauh dari yang bersangkutan," urai dia.

Taqwaddin benar. Karena itu pulalah, Safrina, calon peserta lainnya, merasa "tidak bisa" menerima pelaksanaan syariat Islam itu. "Sejak saat diterapkan, saya malah merasa tertantang untuk kucing-kucingan dengan petugas," aku gadis asal Aceh Timur itu.

Akibat "pemaksaan" itulah, Safrina tak pernah merasa peraturan itu menjadi sebuah kewajiban bagi dia, tapi sebaliknya, cuma sebatas formalitas semata. "Kenapa perempuan terus yang disorot," tanya gadis hitam manis ini.

Lain lagi dengan Alvi Chairiah, siswa SMU 3 Banda Aceh yang juga mengikuti kegiatan serupa. Gadis manis ini mengatakan syariat Islam bukan rintangan bagi dia. "Kalau kita berbusana dengan sopan tak perlu takut dengan WH. Kita hanya takut kepada Allah SWT," urai Alvi. WH akronim dari Wilayatul Hisbah yang menjadi semacam polisi syariah.

Nindy Silvie, siswi SMU I Banda Aceh juga tak jauh beda. Sebagai muslimah dia melihat syariah itu kebutuhan. "Tanpa dipaksa pun, kita selalu memakai jilbab kok," ujar siswi yang aktif di OSIS sekolahnya.

Pro kontra masalah syariat Islam, seakan mengalir seperti air juga. Di bendung sana-sini, sesuai dengan kondrat air, dia juga tetap mencari dataran rendah. Meski yang sangat disayangkan adalah penerapannya yang "mengadopsi" gaya air. "Seharusnya semua orang di mata hukum sama," sambung Mu'arif, juga calon peserta yang saya tanyai.

Pada kesempatan yang lain, kalangan ulama mengharapkan penerapan syariat Islam di Aceh tidak boleh gagal, kendati dalam implementasinya banyak kendala yang dihadapi. "Tidak ada istilah gagal syariat Islam di Aceh, ini tanggung jawab kita bersama," kata Tgk. H. Nuruzzahri Yahya, seorang ulama Aceh baru-baru ini.

Kata Wakil I Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) ini, komitmen pemerintah dalam menjalankan syariat Islam di Aceh sudah merupakan sebuah kemajuan. "Di sinilah perlunya dijaga kekompakan agar semua pihak bersatu dalam mengawal jalannya syariat Islam," ujar pria yang kerap disapa Waled Nu itu.

Atas nama bersatu untuk pengawalan, seperti diutarakan ulama dayah ini, tentu kita juga akan menunggu kritikan remaja Aceh yang sedang belajar menjadi "tukang tulis"
di Seuramoe Tumuleh. Akankah mereka juga mengkritik seperti air yang mengalir. [Munawardi Ismail]

Menggores Damai Di Kanvas Aceh...

Ratusan bocah-bocah belasan tahun di Banda Aceh dengan semangat mengikuti lomba melukis. Kali ini bukan melukis tentang tsunami seperti yang marak beberapa bulan silam. Tapi sekarang tentang perdamaian. Menarik memang, ketika damai itu digores anak-anak.

Dulunya, jika anak-anak diajak melukis yang digambar pasti soal senjata, granat dan rumah-rumah yang terbakar. Lalu, ketika musibah dahsyat tsunami menghayak Aceh, giliran gelombang dan orang-orang berlarian ke segala arah yang digambarkan.

Semua itu sudah berlalu, kini mengisi masa damai. Hasil goresan pun berbeda pula. Tidak seperti biasanya. Apik dan menarik. Semua kegiatan tersebut dirangkum guna menyambut 2 tahun perdamaian Aceh pada 15 Agustus nanti. "Bergandeng Tangan, Merenda Damai" itulah tema acara itu.

Tentu saja, hajatan tersebut digelar Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA). Mulai dari Duek Pakat Ulama dan Tokoh Masyarakat Aceh "Pikee Keu Damee" hingga Lomba Lukis dan Menulis Surat Anak untuk Perdamaian Aceh.

Faurizal Moechtar, ST, staf BRA Pusat kepada Waspada, kemarin mengatakan pihaknya juga akan menggelar Tour Perdamaian Keliling Aceh, pada 15 Agustus nanti. Katanya, kegiatan tersebut akan 15 becak yang mulai bergerak dari Banda Aceh.

Untuk tour perdamaian tersebut, para peserta akan mengusung atribut-atribut serta buletin perdamaian ntuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. "Kita targetkan 10 hari keliling Aceh itu akan selesai," ujarnya.

Bukan cuma itu, dalam tour tersebut selain abang becak, juga akan ikut puluhan mahasiswa yang akan diawal foreder serta satu unit mobil ambulan. "Setiap masuk kabupaten kota mereka akan disambut dan dilepaskan oleh BRA setempat," sebut Faurizal yang juga Koordinator Bidang Ekonomi BRA.


Menurut mantan aktivis ini, ketika berbicara damai mendengar suara hati anak-anak adalah langkah tidak salah dan bijaksana. Toh, anak-anak paling punya hak menikmati perdamaian ini. Dan itulah yang dilakukan lembaga reintegrasi ini dalam memperingati dua tahun perjanjian damai yang diteken pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

"Saya terharu melihat goresan anak-anak. Apresiasi mereka tentang perdamaian sangat luar biasa," kata Faurizal mengomentari aksi 210 anak-anak di Banda Aceh yang mengikuti lomba lukis dimaksud. Acara yang digelar di kompleks Meuligoe Gubernur Aceh, pada Senin (6/8) petang itu, berlangsung sukses.

Begitu pula dengan Tijana Syarafana, salah satu peserta lomba lukis. Siswa SD Percontohan Lamlagang mengaku senang dengan kondisi Aceh yang sudah damai. "Kemana-mana kita nggak takut lagi, nggak ada suara bom," celotehnya.

Ketua Harian BRA, M Nur Djuli yang menyempatkan diri menengok apresiasi anak-anak di atas kertas menyambut positif kegiatan tersebut. Bukan hanya sebatas itu, dia juga mengaku kagum dan tak menyangka, ketika melihat lukisan karya anak-anak. "Bagus-bagus dan menarik," komentarnya.

Goresan anak-anak yang dilihat Nur Djuli bervariasi, ada yang menggambar orang bersalaman, pos TNI dan GAM, bendera merah putih dan bendera GAM. "Isinya tidak ada lagi unsur-unsur kekerasan dalam pikiran anak-anak serang, semuanya sudah damai. Positif sekali," sebutnya.

Kendati menarik, kita harus menunggu sepekan lagi untuk menunggu siapa pemenangnya. Tapi yang penting damai sudah tersemai. (b05) 07/08/07-------


Foto: lintasgayo

"Kalau Damai, Dengan Becak Bisa Keliling Aceh..."

Perjalanan keliling Aceh yang dilakukan tim Tour Becak Perdamaian disambut antusias oleh warga beberapa daerah yang disinggahi. Kegiatan tersebut dalam rangka "Refleksi 2 Tahun MoU Helsinki". Kini mereka sudah tiba kembali di Banda Aceh.

Tour Becak Perdamaian yang diikuti 30 peserta serta melibatkan 15 unit becak itu memulai start pada 15 Agustus lalu, saat peringatan dua tahun Mou Helsinki di Blang Padang Banda Aceh. Rombongan becak dilepas Gubernur Irwandi Yusuf.

Setelah menempuh perjalanan selama delapan hari, Rabu (23/8) petang, mereka kembali tiba di Banda Aceh. Ketua Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA) M Nur Djuli menyambut mereka dengan jamuan makan malam bersama di Restoran Meuligoe Gubernur Aceh.

Dalam acara penyambutan serta pemberian sertifikat itu, sejumlah peserta menceritakan suka dukanya selama perjalanan. Termasuk harus melawan derasnya hujan dan dinginnya Kota Kabanjahe, Sumatera Utara ketika malam melintas kawasan itu.

"Di Sumatera Utara, romobongan becak ini disangka dalam rangka memeriahkan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, sehingga mayarakat di sana meneriakkan "merdeka..., merdekaaa," cerita Muhajir, koordinator tim.

Sedangkan, peserta tertua Syamaun yang akrab dipanggil Ayah, turun berbagai cerita
selama dalam perjalanan. Apalagi medan yang dilalui juga cukup berat. Namun semua tantangan itu berhasil mereka lalu sehingga tiba kembali di Banda Aceh.

Sementara Ibrahim, peserta lainnya mengungkapkan dengan perjalan keliling Aceh yang mereka lakukan itu, dia banyak menangkap keharuan. Apalagi saat disambut dengan antusias oleh warga setempat. "Bahkan kami dipeusijuek juga," cerita dia.

Katanya, yang ingin disampaikan bukan hanya persoalan bagaiaman sambutan di setiap daerah. Tapi, lanjut Ibrahim dia ingin merasakan aura perdamaian yang membumi di tanah rencong. "Kalau damai, dengan becak pun, kita bisa keliling Aceh," tukasnya.

Lain lagi dengan Junaidi, peserta lainnya dari Jeumpa Mirah. Dia merasa kagum melihat keindahan alam di pelosok Serambi Mekah. Tapi dia sedikit prihatin melihat anak-anak sekolah di sebuah daerah di Subulussalam.

Disebutkannya, anak-anak tersebut bersekolah dengan apa adanya. "Lebih baik jika damai itu dari berbagai sisi," ungkap Junaidi. Sayangnya, dia tak ingat lagi, nama daerah yang membuat empatinya mencelat.

Ketua BRA, Nur Djuli ketika menyambut semua anggota tim Tour Becak Perdamaian yang kembali dengan selamat mengungkapkan rasa bangganya. "Perdamaian itu jangan dilihat sebatas salam-salaman dan berpelukan seperti yang terlihat di televisi," ujarnya.

Akan tetapi, sambung Djuli, perdamaian itu harus membumi di masyarakat lapisan bawah. "Perdamaian ini untuk rakyat kelas bawah, grass rood," katanya. Karena itu pelibatan abang becak dalam tour pedamaian ini, seakan menjadi "simbol" dari golongan yang dimaksud.

Kemudian, Faurizal Moechtar, Ketua Panitia "Refleksi 2 Tahun MoU Helsinki" kepada Waspada mengatakan tour perdamaian disambut antusia masyarakat yang cinta perdamaian. Apalagi, peserta tour juga mengusung atribut-atribut perdamaian untuk disuarakan seluruh Aceh.

24/08/07

Inong Balee Dalam Zaman Aceh

MEMANG tak terbantahkan, Aceh identik dengan perjuangan wanita-wanita perkasa. Banyak tokoh wanita hebat lahir di Aceh. Tahun 1400-1428, tercatat seorang raja wanita bernama Ratu Nihrasiyah memegang pemerintahan di Kerajaan Samudera Pasai.


Pada tahun 1585-1604 seorang perempuan bernama Laksamana Malahayati memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Malahayati tercatat memimpin perang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599, dan mendapat gelar Admiral untuk keberaniannya ini.


Pada zaman pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah IV (memerintah tahun 1589-1604) tersebut, pernah dibentuk sebuah armada yang sebagian prajuritnya terdiri dari janda-janda (inong balee) pahlawan yang telah tewas. Armada ini dipimpin Laksamana Malahayati. Dalam buku "Vrouwelijke Admiral Malahayati", penulis wanita Belanda Marie van Zuchtelen menyebutkan bahwa armada ini terdiri dari sekitar 2.000 prajurit perempuan yang gagah, tangkas dan berani.


Demikian pula pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604-1607), pernah dibentuk "Suke Kaway Istana" atau Resimen Pengawal Istana yang terdiri dari "Si Pai Inong" (prajurit-prajurit wanita) di bawah pimpinan dua perempuan yaitu Laksamana Leurah Ganti dan Laksamana Muda Tjut Meurah Inseuen. Dua pimpinan inilah yang berhasil membebaskan Iskandar Muda dari tawanan Alaidin Riayat Syah V.

Kebelakang lagi, kita mengenal Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah, Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah, dan Sri Ratu Kumala Syah. Hingga yang lebih disebut heroik semacam Cut Nyak Dien yang adalah keturunan dari bangsawan putri Nanta Seutia Raja Ulebalang Mukim. Serta Cut Meutia, yang lahir tahun 1870, aktif di daerah Pase bergerilya bersama suaminya melawan Belanda.

Hanya saja menjadi pertanyaan, kalau Laskar Inong Balee asuhannya GSA ini memang betul hebat, siapakah perempuan besar yang ada di belakangnya? Atau pihak GSA hanya memanfaatkan melankholitas sejarah perjuangan wanita terdahulu yang memang jelas berbeda dengan perjuangan saat ini? Dengan kata lain mereka hanya memanfaatkan wanita-wanita semata?

Lalu pertanyaan yang paling adalah: kemanakah wanita-wanita itu sekarang? Tidak ada yang tahu. Yang jelas, jika ada wanita yang tertembak dalam Darurat Militer kali ini, tidak akan ada yang mengaku dari Laskar Inong Balee. Mereka akan disebut sipil tak berdosa. (jones sirait)

Alam Peudeung



“INI dia Alam Peudeung kita,” kata Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Rusdi Sufi. Ia menunjukkan sebuah ilustrasi bendera berwarna merah dengan lambang bulan bintang dan pedang on jok, pedang khas Aceh yang berbentuk daun aren yang terletak melintang di bawah lambang bulan bintang itu.

Dalam bahasa Aceh, “alam” yang berasal dari bahasa Arab berarti bendera dan “peudeung” adalah pedang. Alam Peudeung merupakan bendera Kerajaan Aceh Darussalam berdasarkan catatan sejarah yang ditulis pihak Belanda. Namun belum ada catatan sejarah yang cukup jelas menggambarkan wujudnya.

“Sedangkan ini bendera juga, tapi untuk membangkitkan semangat perang,” katanya, sambil menunjukkan foto bendera yang lain.

“Memang banyak versi, tapi saya cenderung dengan ini,” katanya, seraya menunjukkan ilustrasi Alam Peudeung yang tampil dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara karya Zainuddin yang ditunjukkannya pertama kali tadi.

Pada halaman pembukaan buku tersebut terdapat ilustrasi bendera Aceh di masa Kerajaan Aceh Darussalam. “Alam Atjeh”, begitu judul yang tertera di halaman itu. Kemudian terdapat syair berbahasa Aceh yang mengatakan, di Aceh ada Alam Peudeung, Cap Sikureung di tangan raja dan menceritakan kegemilangan sejarah Aceh.

“Kalau dulu orang aceh cenderung menerima Alam Peudeung yang ini (menunjuk versi Zainuddin). Ada pedangnya kan!, dengan bulan bintang, warnanya merah bukan kuning,” kata Rusdi dengan penuh keyakinan.

“Kalau yang ini (menunjukkan foto bendera merah yang satunya) banyak sekali ditemukan waktu perang dan modelnya juga banyak betul. Ada juga yang kuning dengan pedang ganda,” katanya.

Dalam pertempuran antara pasukan Belanda dan Kerajaan Aceh di Barus tahun 1840, Belanda berhasil merebut bendera perang pasukan Aceh. Warna dasar bendera itu merah, ada gambar pedang melintang dan di sudut atas bagian gagangnya ada bulatan seperti bulan purnama berwarna putih. Bulatan dan pedang tersebut bertuliskan tulisan Arab dengan kandungan doa-doa mohon perlindungan kepada Allah. Itulah gambar bendera yang dimaksud Rusdi sebagai bendera “waktu perang”.

“Sejak dulu ini bendera kita (menunjuk versi Zainuddin), tapi bagaimana ditemukan kurang jelas,” tuturnya.

“Kalau ini untuk kepentingan perang,” Ia kembali menunjuk bendera yang direbut Belanda dari tentara kerajaan Aceh di Barus tadi.

“Sejak Aceh Darussalam terbentuk ini sudah ada. Bagaimana ditemukan, saya tidak jelas. Tapi ada sumber yang bilang inilah Alam Peudeung,” ujarnya, lagi-lagi menunjuk gambar bendera dengan lambang bulan bintang di buku Zainuddin.

“Ya… seperti merah putih kan ada yang bilang yang menemukannya Mpu Tantular. Tapi itu kan dongeng. Yang jelas kemudian itu jadi bendera negara kita kan.” Ia tertawa.

Selain menjabat direktur PDIA, Rusdi juga berprofesi sebagai dosen Sejarah Aceh di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala.

“Lantas bagaimana dengan bendera hijau yang dikatakan dikibarkan saat damai?” tanya saya.

“Itu cerita kemudian, tapi yang jelas bendera Aceh itu merah ya, bisa kita lihat dalam naskah-naskah. Kemudian ada orang yang membuat warna hijau disimbolkan sebagai sejuk damai. Itu macam-macam kejadiannya. Bisa karena karya pujangga lukisan,” jawabnya.

“Tapi tidak mungkin saboh nanggroe (satu negeri) dua bendera kan, hahahaha… Bendera itu kan, lambang, simbol kerajaan artinya identitas. Itu saya kira,” lanjutnya.

“Bendera kita (Alam Peudeung) mirip dengan bendera bulan bintang Turki ya?” tanya saya.

“Iya, kalau ini tidak ada.” Rusdi menutup gambar pedang on jok pada gambar bendera tersebut dengan tangannya. “Bendera Turki kan.” Senyumnya mengembang, setelah mengucapkannya.

Ia mengatakan bahwa hubungan Aceh dan Turki sudah terbina sejak masa Sultan Ala’ad-din Riayat Syah al-Kahar. Ketika itu armada Turki dan tenaga ahli mereka dikirim ke Aceh sebagai wujud persahabatan.

“Tenaga ahli dari Turki itu kemudian menetap di Aceh. Konon katanya perkampungan mereka di Emperom,” katanya, sambil menggoyang-goyang kursinya.

“Empu itu kan artinya tukang atau ahli. Rom itu kan simbol atau istilah untuk menyebut Romawi Timur, tapi Rom di sini maksudnya Turki.”

Sultan Kerajaan Aceh Darussalam generasi ke-3 , Ala’ad-din Riayat Syah al-Kahar (1537) mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan Turki atas Aceh, dengan imbalan berupa bantuan militer turki untuk melawan Portugis. Kenangan-kenangan dari hubungan singkat ini terus dihidupkan di Aceh oleh bendera merah Ottoman yang masih dikibarkan oleh para sultan, dan oleh meriam besar “lada secupak” yang menjaga dalam (istana raja dan perkarangan) di Banda Aceh.

Bendera dan meriam ini dihormati sebagai pemberian khalifah, lambang perlindungan bagi kerajaan bawahannya yang terletak nun jauh di sana.


“ADA semacam kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa Aceh itu adalah proktektorat Turki. Jadi setiap tahun ada hadiah dari Aceh ke Turki sebagai pengakuan persaudaraan,” kata Ketua Museum Aceh, Nurdin AR kepada saya di tempat yang berbeda.

“Semacam upeti?” tanya saya.

“Jangan dibilang upeti lah, katakanlah semacam hadiah. Demikian juga dengan Turki, negara itu juga kasih bantuan banyak sekali atas pemintaan al-Kahar. Ada bantuan armada, tenaga ahli, ada transfer ilmu teknologi perang juga,” katanya sambil membetulkan letak kacamatanya.

Nurdin bertubuh berisi. Wajahnya mungil, berkacamata dan penuh senyum. Pagi itu Nurdin bersetelan kuning khas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di waktu senggangnya, ia sering terlihat memperhatikan ruang koleksi buku museum yang terdapat tepat di depan ruang kerjanya.

“Kemudian teknik bertempur. Di Aceh itu dikenal dengan seni bela diri geudeu-geudeu, yang masih dipertunjukkan di Pidie. Itu dulu latihan perang-perangan yang di bawa dari Turki. Sekarang katanya, saya tidak pernah ke Turki… katanya ada salah satu suku di situ ada seni bela diri seperti geudeu-geudeu di Sigli,” katanya, bangga.

Nurdin juga mengatakan bahwa banyak armada Turki yang diberikan untuk Aceh sehingga armada tersebut masih dipakai di masa sultan Aceh yang sangat tersohor, yaitu Iskandar Muda.

“Jadi kemudian ada emosi barangkali, kedekatan emosi antara orang atau Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Turki Usmani, juga karena keyakinannya,” katanya.

Sultan Selim II dari Kemaharajaan Turki dinasti Ottoman mengirimkan 15 kapal perang dan dua kapal pembekalan untuk menyokong Aceh melawan Portugis. Pemberian bantuan dilakukan melalui firman (keputusan) Sultan Selim II, tertanggal 20 September 1567, sebagai jawaban atas permintaan Sultan Aceh, Alaudin Riayat Syah.

“Di Turki bintang bulan, kita juga bintang bulan. Selain itu bintang bulan juga sebagai lambang muslim. Kemudian sebagai ciri khas Aceh ditaruh pedang on jok,” kata Nurdin.

Pendapatnya tentang Alam Peudeung sama seperti pendapat Rusdi.

“Kita lihat ini persis pedang Aceh. Ini ada tameng di tangan. Ini kunci pedang (ia menunjuk ukiran didepan gagang pedang), pedangnya juga tipis dan lentik seperti daun aren kemudian ada ini (ia menunjuk benda runcing yang menyerupai paku di belakang pegangan pedang), ini juga senjata pamungkas,” lanjutnya.

Menurut Nurdin, ketika pemakai pedang terdesak dalam pertempuran, ujung pedang tersebut dapat menjadi senjata yang ampuh untuk melukai atau memberikan kejutan balik ke lawan.

Pembicaraan kami akhirnya kembali ke bendera.

“Orang Aceh menyebut bendera: alam. Dari kata Arab. Ini kan yang disebut bendera Aceh.” Nurdin menunjuk kertas salinan ilustrasi bendera yang bergambar sebilah pedang terlentang dan bulan bintang di atasnya.

“Kalau itu kan tidak disebut (Alam Peudeung). Disebut bendera perang! Iya kan. Maka bendera perang itu selalu diiringi oleh pedang. Pedangnya berbeda, lalu di dalam ini ada tulisan-tulisan semacam ajimat penangkal, hikmah-hikmah yang dipakai dalam pertempuran untuk memecah pasukan lawan agar menang, supaya pasukannya berani,” tuturnya, panjang lebar.

Nurdin membaca satu demi satu tulisan Arab yang tertera di balik bendera tersebut.

“Nah ini Ali…ini kan salah satu panglima perang ketika zaman Nabi. Lau….” Ia kembali meneruskan bacaannya, “Ya man huwa (wahai Dia)..Ya man la illaha illa huwa (Wahai Dia, tiada Tuhan melainkan Dia).”

“Kenapa ada dua bendera dalam satu negara?” tanya saya, heran.

“Ini kan kalau dalam keadaan damai dipakai bendera putih. Semacam pertanda membawa misi damai. Tapi kalau mau bendera Aceh seperti bendera merah putih ya… ini (menunjuk bendera yang bergambar pedang serta bulan bintang),” jawabnya.

“Dulu ini (bendera perang yang direbut Belanda dari pasukan Kerajaan Aceh di Barus) ada di sini (Museum Aceh) tapi entah siapa yang pinjam. Pada saat zaman (kepemimpinan) Pak Zakaria dulu, bukan pada saat kepemimpinan saya. Entah kepala yang ketiga, pokoknya jauh sebelum saya.” Nurdin mencoba mengingat-ingat.

“Saat itu kondisinya memang sudah hancur, kemudian ada orang yang pinjam. Saya juga belum pernah lihat bendera itu, tapi kalau bendera warna putih kita masih punya,” tuturnya.

“Bendera tersebut secara fisik tidak ada lagi, tapi secara memori kolektif kita tidak hilang kan,” katanya, lagi.

“GAM (Gerakan Aceh Merdeka) memakai garis hitam, itulah dinamika, perkembangan, tapi identitas Aceh tidak pernah hilang, bintang bulannya,” tambahnya sembari, kembali tersenyum.

GAM memakai lambang bulan bintang di atas dasar merah dengan tambahan beberapa garis pada tepi atas dan bawahnya.

Nurdin mengatakan bahwa bila orientasi masyarakat berbeda maka lambang akan berbeda. Simbol itu penting buat orang Timur, katanya.

“Kehidupan bisa saja berubah, apakah di Aceh cukup ada Alam Peudeng dan sebagainya mungkin itu bisa berubah lagi tergantung harapan masyarakat. Karena harapan itu adalah doa kan.” Ia kembali terseyum.


WACANA tentang bendera Aceh mulai berhembus ketika isi poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki menyatakan bahwa Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, seperti bendera, lambang dan hymne. Hal ini kembali ditegaskan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006. Khususnya pasal 246 ayat 2 dan 3 serta bunyi pasal 247. Lambang tersebut berkedudukan sebagai identitas daerah yang berfungsi sebagai pengikat kesatuan budaya masyarakat daerah dalam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika Rusdi Sufi dan Nurdin AR sependapat bahwa Alam Peudeung adalah bendera yang bergambar pedang on jok dan bulan bintang di atasnya, maka Ridwan Azwad, sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) berpendapat beda.

“Saya sangsi (ragu) itu adalah Alam Peudeung,” tutur Ridwan, merujuk pada ilustrasi alam peudeung yang ada di buku Tarikh Aceh dan Nusantara karya Zainuddin.

“Saya lebih mengarah ke Brooshoff. Dia bilang ada keris bersilang. Tidak dibilang bintang beulen (bintang-bulan) kan. Kalau pun ada gambar yang beredar tapi kita sanksi juga dari mana mereka dapatkan… bisa saja ini imaginasi saja,” tuturnya.

Brooshoff adalah penulis buku Geschiedenis van den Atjeh Oorlog 1873-1886 (Sejarah Perang Aceh 1873-1886). Buku yang diterbitkan tahun 1936 tersebut berbahasa Belanda dan belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Dalam buku tersebut ditulis: De Atjehsche vlag is den witte kris op een rood veld. Soms ziet men ook in plaats van de kris, twee witte gekruiste klewang (Bendera orang Aceh adalah bergambar keris putih pada dasar berwarna merah, terkadang juga orang melihat keris tadi, menjadi dua pedang (klewang) putih yang bersilang)

“Apa pengertian keris di situ rencong? Bisa jadi saat itu dia tidak tahu nama senjata kita itu. Soalnya mirip keris kan,” tutur Ridwan.

Rencong adalah senjata tradisional Aceh yang diciptakan di masa Sultan al-Kahar. Bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya menyerupai kaligrafi tulisan Bismillah.

Ridwan juga menceritakan bahwa dalam buku Kreemer jilid II dikatakan bendera Aceh bernama Alam Cap Peudeung yang juga dinamakan Alam Radja. Di situ juga disebutkan ada “alam” merah saat perang, juga “alam” putih saat damai yang disebut alam ta’ lo.

Sejak kecil Ridwan terbiasa dengan buku-buku sejarah. Maklum, kakek dan ayahnya juga berkerja di bidang yang sama. Ayahnya, Aboe Bakar, bahkan pernah menjabat direktur harian PDIA. Ketika itu ayah Ridwan banyak menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda ke bahasa Indonesia guna memperkaya referensi sejarah Aceh.

“Tapi saya lebih cenderung (pada) laporan di buku Broshoof. Memang orang Aceh ada istilah panji. Tapi saya selain yang Broshoof bilang itu, yang lain masih kabur,” katanya, tegas.

Ridwan juga mempertanyakan sumber keterangan soal Alam Peudeung yang terdapat di buku Zainuddin.

“Jangan mentang-mentang ada lukisan itu kita langsung mengatakan itu Alam Peudeung. Kapan dia lukis itu, bagaimana sumbernya? apakah imajinasi? Tidak jelas,” ujarnya, dengan mimik serius.

Dalam Tarikh Aceh dan Nusantara terdapat gambar penyambutan Sultan Alaudin Riayat Syah al-Mukamil terhadap utusan dari Ratu Inggris Elizabeth I di bawah pimpinan Sir James Lancaster. Tampak beberapa orang penari berpakaian seperti penari Hindu dalam gambar tersebut. Namun, tidak dijelaskan bahwa gambar itu ilusrasi pelukis Belanda bernama C. Jetses yang mengkhayalkan penyambutan Lancaster dalam bentuk lukisan!

“Itu hal kecil tapi bisa jadi ribet nantinya. Bagaimana kalau itu dikutip lagi sama buku lainnya,” kata Ridwan, gusar.

“Kalau di buku Van Langen, Weskuest van Aceh (Aceh bagian Pantai Barat) ada pernah saya lihat gambar bendera yang pernah direbut di pantai barat. Tidak ada bulan bintangnya,” kenangnya.

“Kalau saya pribadi masih kabur, pajan bendera nya na (kapan bendera itu ada). Timbul pertanyaaan apa pada Ali Mughayat Syah sudah ada bendera. Dulu kan kerajaan Ali Mughayat Syah kecil, kemudian jadi besar,” tuturnya.

Ali Mughayat Syah adalah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Pada awalnya sebuah kerajaan yang terletak di ujung pulau itu bukan kerajaan penting namun setelah mempersatukan semua kekuatan anti-Portugis yang bermarkas (telah menguasai) di Pidie (1521) dan Pasai (1524), kerajaan tersebut besar dan memainkan peranan penting dalam monopoli eksport hasil produksi Sumatra dan Malaka.

“Yang jelas Alam Peudeung itu pada zaman yang sultan sudah kuat, tapi kita belum tahu yang mana,” sambungnya.

“Tapi Pak, dalam ingatan kolektif orang tua itu kan masih tinggal kenangan bendera Peudeung?” bantah saya, terkenang ucapan Nurdin tentang ingatan orang-orang tua.

“Orang tua itu berapa umurnya?” Ia terseyum penuh arti. “Orang zaman itu kan sudah mati, belum tentu mereka mewariskan ceritanya kepada anak-anak mereka,” lanjut Ridwan.

“Dalam sejarah, kesaksian itu ada dua, primer atau penyaksi langsung dan sekunder atau dari orang kedua. Contohnya seperti kita bilang kata neneknya, kan itu bukan dia yang lihat. Tidak setiap keterangan kita harus percaya kalau kita kembali ke metodologi sejarah. Jadi jangan setiap yang datang kita telan semua,” katanya.

Alam Peudeung itu sendiri dari sumber Belanda, tapi tentu saja dia melakukan dengan riset yang kuat. Kalau saya tidak bisa terima ilustrasi tersebut, apa betul begitu? Kalau kita lihat laporan Belanda itu kan bersilang. Lagian tidak pernah disinggung kan bendera kita bintang buleun, “ jawabnya dengan nada sedikit tinggi. Setelah itu ia menghela napas.

“Jangan terima begitu saja sumber yang tidak jelas, kita mesti kritis,” tuturnya. Ridwan ingin ada penelitian lebih lanjut tentang bendera Aceh.***



*) Novia Liza adalah
kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia mahasiswa Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry

Perempuan-perempuan Tenda

Tenda-tenda itu terletak berjejer. Warna dan ukurannya nyaris seragam. Hijau lumut dengan ukuran 4x4 meter. Agar air hujan tak masuk, mereka membuat balai papan setinggi 30 sentimeter di dalam tenda. Di sanalah mereka merebahkan diri sekaligus meletakkan barang-barang.

Satu tenda dihuni beberapa orang. Ada yang sekeluarga. Ada juga yang lebih dari dua keluarga. Semua bercampur dalam satu tenda, anak-anak dan orang tua. Suami, istri, dan mertua.

Mengungsi di tenda ternyata tak berarti dunia berhenti berputar. Kehidupan tetap berjalan. Kendati tinggal di tenda, bayi-bayi tetap lahir. Tetap banyak perempuan pengungsi yang berbadan dua.

Setiap saya “nongkrong” di pengungsian, saya mendapati banyak jemuran pakaian yang digelantungi popok dan gurita untuk bayi. Bahkan terkadang saya berpapasan dengan ibu yang sedang hamil tua di antara tenda-tenda.

Tenda pengungsi asal Aceh Jaya salah satunya. Kabupaten ini adalah salah satu daerah yang paling parah terkena tsunami karena terletak di pesisir. Posisinya sekitar 120 kilometer ke arah  barat Banda Aceh.

Ada sekitar 150 kepala keluarga (KK) asal Aceh Jaya yang kini masih mengungsi di Banda Aceh. Mereka tak berani kembali ke daerahnya yang sudah hancur. Dan karena mereka merupakan pengungsi pendatang, mereka belum berhasil mendapatkan rumah bantuan.

Pengungsi Aceh Jaya tinggal di tenda yang nyaris lapuk karena sudah setahun ditempati. Sudah tiga kali mereka nomaden, berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain karena digusur empunya tanah. Pengembaraan mereka berakhir sementara di sebuah lapangan, tepat di samping Jalan Raya Lampeneurut, Banda Aceh.

Saya bertemu Munarwati di suatu siang terik. Dia terbuka dan ramah. Umurnya 30-an, tetapi wajahnya penuh kerut yang membuat dia terlihat lebih tua dari usia sesungguhnya.

Munarwati berkulit hitam dan bertinggi tubuh sedang. Dia tinggal di pengungsian itu bersama suami dan dua anaknya.

“Syafiie adalah suami kedua Munarwati, suami sebelumnya sudah meninggal juga anak bungsunya,” kata Rahmawati, tetangga Munarwati kepada saya.

Syafiie bekerja di bengkel. Mereka bertemu di pengungsian dan saling tertarik. Syafiie duda tanpa anak. Munarwati janda. Klop sudah.

Akhirnya di bulan Agustus 2005 yang cerah, dua sejoli ini memutuskan menikah di pengungsian.  Rahmawati, sang tetangga, juga hadir di pernikahan mereka.

Setelah menikah, Munarwati beruntung tidak usah berbagi tenda dengan orang lain. Tendanya pun tak jauh dari mushala pengungsian. Di sanalah dia mencari angin bila kepanasan di tenda.

Kini Munarwati sedang hamil tua. Daster warna merah marun yang lusuh itu tak mampu menutupi perutnya yang membesar. Dia terlihat kurus, lelah, dan kepanasan.

“Dua bulan lagi saya melahirkan,” katanya kepada saya.

Selain  Munawarwati, ada 10 ibu di pengungsian tenda warga Aceh Jaya yang juga sedang hamil. Dari 224 pengungsi perempuan yang terdiri dari orang dewasa, remaja, dan anak, sepertiga adalah ibu-ibu. Artinya, seperdelapan dari mereka sedang mengandung.

“Tinggal di tenda bukan berarti tidak bisa punya anak,” kata Rahmawati.

Menurut Rahmawati, para pasangan suami istri tetap bisa melakukan kewajiban mereka kendati tinggal di tenda. Apalagi para pengungsi di sekitar itu bukanlah tipe yang suka mengintip isi tenda orang lain.

“Asal pintar melihat waktu dan jangan lama-lama,” sambung Munarwati yang duduk di sisi Rahmawati sambil cekikikan.

Tenda-tenda itu terbuat dari terpal tebal yang kasar. Kebanyakan terpal tenda mulai berlumut.

Kendati demikian, cahaya lampu dalam tenda sudah pasti akan menampakkan aktivitas penghuninya. Sehingga saya yakin para pasangan akan berpikir dua kali untuk “berkasih-kasihan” di dalam tenda pada malam hari.

Menurut Munarwati, biasanya pasangan suami istri memilih untuk “berduaan” di siang hari atau setelah semua anggota tenda beraktivitas di luar.

Karena tenda tidak memiliki pintu, mereka tinggal menutup tenda. Kalau sudah demikian, tenda mereka tak akan dihiraukan warga. Sang empunya dianggap sedang pergi.

“Pokoknya pintar-pintarnya kita deh,” kata Munarwati lagi.

Para ibu saya lihat mengangguk-angguk seolah mengiyakan pernyataan Munarwati tadi. Beberapa di antara mereka tersenyum malu.


MESKIPUN hamil, Munarwati tak pernah mendapat bantuan gizi untuk orang hamil.  Munarwati jarang minum susu kecuali cokelat Milo yang dibelinya di warung dekat tenda.

Dia juga tak pernah ke rumah sakit untuk periksa kehamilan. Ada dokter yang datang setiap bulan ke tenda pengungsi Aceh Jaya.
Mereka berasal dari Berkat Indonesia, CARE, atau International Catholic for Migrant Commision. Tapi tak ada dokter khusus yang bisa menangani orang hamil.

Akibatnya di pengungsian Aceh Jaya sudah enam ibu yang keguguran di usia  kandungan mereka mencapai tiga sampai empat bulan. Para ibu ini tak paham penyebabnya.

“Tahu-tahu saja dan serba mendadak,” kata Ina, yang terpaksa kehilangan calon anaknya.

Ina masih lebih beruntung karena tidak perlu menghabiskan biaya banyak seperti Erlita.

Erlita keguguran di usia kandungan tujuh bulan. Dia dibawa ke puskesmas terdekat dan karena bidan tidak mampu menanganinya, Erlita terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Bunda, Banda Aceh untuk dioperasi.

Dia harus membayar  Rp 1.150.000.

“Kami terpaksa hutang sana hutang sini,” kata Erlita kepada saya.

Saya mengunjungi Erlita tepat saat kepulangannya ke tenda setelah operasi itu. Mukanya masih pucat dan tangannya gemetar saat mempersilahkan saya minum. Matanya merah saat saya bertanya mengapa dia bisa kehilangan kandungannya.

“Terlalu panas atau juga karena sanitasinya,” katanya, pelan.

Tinggal di pengungsian berarti harus siap dengan kondisi lingkungan yang buruk. Setidaknya itu diakui para pengungsi. Mulai dari kamar mandi darurat harus digunakan ramai-ramai hingga air yang terkadang kurang layak pakai.

Atau keguguran karena kurang gizi?

“Saya beli susu dengan uang sendiri. Karena susu mahal, jadi kalau tidak ada uang ya tidak beli,” katanya, sambil tersenyum pahit.

Dengan banyaknya kasus keguguran di tenda pengungsian, kini Munarwati berharap-harap cemas menanti kehadiran si buah hatinya. Dia mengaku hingga saat ini belum ada masalah yang serius kecuali merasa kepanasan. Lagipula lokasi bidan terletak “hanya”  dua kilometer dari tenda mereka.

“Saya sudah men”carter” becak bila bayi saya akan lahir,” kata Munarwati sambil tersenyum lebar sambil menunjuk sebuah becak di dekat tenda.


DI bulan-bulan awal tsunami, saya melihat banyak klinik kesehatan tersebar di tenda atau barak pengungsian. Namun setelah setahun tsunami, klinik itu banyak yang menghilang, terutama di kawasan tenda pengungsi.

Bila di tenda pengungsi warga Aceh Jaya, masih ada dokter yang datang setidaknya setiap satu bulan. Di Pengungsian Mon Ikeun Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, justru jarang disentuh petugas kesehatan.

Dulu ada rumah sakit tenda milik pemerintah Turki di situ. Kini rumah sakit darurat tersebut sudah dibongkar. Masa tugas tim medisnya sudah berakhir.

Sekitar 200 KK di  pengungsian Mon Ikeun pun kehilangan tempat berobat.

Saya tak berhasil mendapatkan data jumlah ibu hamil dan kelahiran di  pengungsian ini. Namun dari ibu-ibu pengungsi saya mendapat informasi kalau selama  setahun ini sudah terjadi 10 kali kelahiran dan kini ada enam perempuan yang tengah hamil.

Marina adalah salah seorang ibu yang memiliki bayi di pengungsian. Saat akan melahirkan Marina dibawa ke rumah sakit umum Zainal Abidin yang terletak 20 kilometer dari Mon Ikeun. Beruntung bayinya lahir selamat. Bayi perempuan yang kini berusia empat bulan itu diberi nama Ainal Mardiyah yang artinya ‘bidadari surga’.

Dia juga berusaha meringankan beban suaminya yang bekerja serabutan. Marina berjualan jagung bakar di depan tenda para pengungsi tiap sore, di sela-sela kesibukannya mengasuh Ainal yang suka rewel.

“Meskipun sedang hamil atau sudah punya bayi, kami harus lebih kuat daripada sebelum tsunami. Kami ‘kan harus bekerja mencari uang, mengasuh keluarga dan memasak. Tidak mungkin bermanja-manja,” katanya, dengan mata menerawang.


*) Nani Afrida adalah kontributor untuk sindikasi Pantau di Aceh

Partai Gabthat



KALIMAT “Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasullallah (aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah)” itu tercetak  dalam bentuk kaligrafi di stiker yang ditempel di tembok rumah. Selain itu, ada stiker lain yang bertuliskan “PEUREUTE GABTHAT”.

Rumah ini memang kantor sekretariat Dewan Pimpinan Pusat Partai Gabthat. Letaknya di daerah Lamseupeung, Krueng Aceh, Banda Aceh.  Gabthat kependekan dari Generasi Atjeh Beusaboh Tha’at dan Taqwa.

Sabtu siang itu, 3 Mei 2008, sejumlah
orang berkumpul di ruang tamu yang terasa sesak. Bendera partai dipajang di situ. Teungku Ahmad Tajuddin duduk di kursi di hadapan mereka dan kelihatan serius membahas soal-soal organisasi.

“Pak, lon wartawan. Reuncana jih  wawancara Bapak siat teuntang Peureute Gabthat (Pak, saya wartawan. Rencananya mau wawancara Bapak tentang Partai Gabthat,” kata saya kepadanya.

“Dek, neuhei Abi mantong keu Teungku (Dik, panggil Abi saja kepada Teungku),” pinta Teungku Abdul Samat pada saya. Dia
adalah Panglima Garda Partai Gabthat, organisasi pemuda partai tersebut.

Abi Lampisang. Itulah panggilan yang populer bagi Teungku Ahmad Tajuddin. Lampisang tak lain dari nama desa di Seulimum, Aceh Besar. Dia lahir pada
15 September 1962 di desa itu. Ayahnya, Teungku Abdullah, pemimpin dayah atau pesantren Lampisang. Setelah sang ayah meninggal dunia, dia menggantikan ayahnya memimpin dayah Lampisang.

Pada 1998, pasca pemerintahan Soeharto dan pencabutan status Daerah Operasi Militer atau DOM di Aceh, dia menggelar dakwah akbar yang dihadiri ribuan jamah di dayahnya.

Tak ayal lagi, dakwahnya dianggap pemerintah Jakarta sebagai doktrin-doktrin Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Dia pun jadi incaran militer Indonesia.

“Watee nyan dakwah lon  isi jih teuntang peumbinaan akhlakulkarimah (akhlak yang baik) keupada masyarakat (Waktu itu dakwah saya isinya tentang pembinaan akhlakulkarimah kepada masyarakat,”  tuturnya.

Dia sempat tinggal berpindah-pindah, karena merasa keselamatannya terancam. Akibatnya, dayah Lampisang sempat terbengkalai.

Perjanjian damai antara pihak GAM dan pemerintah Indonesia pada  15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, telah membuka lembaran baru bagi Aceh, termasuk bagi lelaki ini. Perjanjian tadi melahirkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 tahun 2006 atau populer disebut UU PA. Undang-undang itu menyebutkan bahwa  orang Aceh diberi keleluasaan dalam berserikat dengan membentuk partai lokal.

Dia dan beberapa kawannya, seperti Teungku Azhari, Teungku Hamdani Lampisang,  dan Teungku Muhammad Samalanga, memanfaatkan peluang ini. Mereka sepakat mendirikan partai yang kemudian dinamai Partai Gabthat. Dalam bahasa Indonesia, “gabthat”  berarti “kokoh“ atau “kuat sekali”.

Gabthat jadi partai lokal kedua yang dideklarasikan di Aceh. Sebelumnya, pada 2 Maret 2006, Partai Rakyat Aceh atau PRA yang dikomandani  para aktivis muda jadi partai lokal  pertama yang mendeklarasikan keberadaannya.

Sebenarnya Gabthah sudah berdiri pada 4 Desember 2005, tapi belum berbentuk partai, masih berstatus yayasan pendidikan.

Pada 21 Maret 2007, deklarasi Gabthat sebagai partai dilaksanakan di makam Sultan Iskandar Muda. Mereka yang hadir saat itu kebanyakan anggota Himpunan Ulama Dayah (HUDA), mantan GAM, anggota Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA), dan utusan dayah.  Makam Iskandar Muda dianggap menjadi simbol kejayaan Aceh.

“Kamoe ingin meuba Aceh seuperti jameun Sultan Iskandar Muda (Kami ingin membawa Aceh seperti zaman Sultan Iskandar Muda),” katanya.

Partai Gabthat dalam strukturnya juga berpedoman pada struktur pemerintahan Aceh tempo dulu. Imeum Chik merupakan sebutan bagi pemimpin tertinggi partai ini.

Orang Aceh mengibaratkan pemerintahan Sultan Iskandar Muda dalam sebuah hadis maja atau peribahasa Aceh.


Adat bak Poe Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala
Qanun bak Putroe Phang, Reusan bak Lakseumana

Pou Teumeureuhom
sebagai pemegang kekuasaan. Syiah Kuala sebagai pemegang hukum syariat atau agama, yang mewakili ulama.

Qanun adalah perundang-undangan yang berdasarkan hukum agama. Reusam melambangkan tatanan protokoler atau  adat-istiadat. Semua unsur  ini mengacu ke satu asas, yaitu ”agama  ngon adat, lagei zat ngon sifeut  (agama dan adat, seperti zat dengan sifat)”.

Partai Gabthat memiliki lima asas, yaitu bertuhan dengan Allah SWT, bernabi dengan Nabi Muhammad SAW, berpedoman dengan Alquran dan hadist, berakidah dengan ahlus sunnah waljamaah dan bermahzhab Syafi’i.


Ahlus sunnah waljamaah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi dan sunnah sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

“Peureute Gabthat, peureuteu ulama dan peureuteu Islam (Partai Gabthat adalah partai ulama dan partai Islam),” ujar Teungku Abdul Samat, sambil mengisap rokoknya.


SELASA malam, 6 Mei 2008. Teungku. Azhari duduk di sebuah warung kopi yang baru diperbaiki. Sesekali tangannya sibuk memencet tombol telepon seluler miliknya. Dia kelahiran Meureudu, kabupaten Pidie Jaya. Pada 12 Desember nanti dia akan berusia 37 tahun.

Dia menjabat wakil ketua Dewan Syura Partai Gabthat. Dewan ini mengatur kebijakan partai.

Pembawaannya tenang. Tidak mirip politisi yang penuh muslihat. Sebelum aktif di Gabthat, dia tak pernah terlibat di partai politik.

“Peu nyan neuk tanyong bak lon (Apa yang mau ditanyakan pada saya),” katanya.

Saya bertanya tentang banyaknya mantan GAM di Gabthat dan mengapa mereka tak bergabung dengan Partai GAM saja (GAM = Gerakan Aceh Mandiri. Kelak Partai GAM bertukar nama lagi, menjadi Partai Aceh).

“Tidak seide, mungkin itu permasalahannya. Bukankah perbedaan pendapat itu rahmat?” katanya.

"Meski secara stempel (kelembagaan) Partai Gabthat memang bukan partainya Gerakan Aceh Mandiri, tapi tokoh-tokoh yang sekarang di Gabthat itu adalah orang-orang perjuangan juga alias Gerakan Aceh Merdeka. Setelah perjanjian damai yang namanya Gerakan Aceh Merdeka telah dibubarkan. Ini kan kita lagi pada masa transisi dari perjuangan (di masa) konflik ke perjuangan politik. Lihat itu. Bukan pada personal dalam Partai Gabthat,” jelasnya.

Sekarang Gabthat punya cabang di 15 kabupaten dan kota, dan di 93 kecamatan yang tersebar di seluruh Aceh.

Menurut sang pemimpin, Teungku Ahmad, Gabthat akan bermain di tingkat lokal dan belum memikirkan kolaborasi dengan partai nasional.

“Untuk pusat (nasional) koh taloe hidong (potong tali hidung), artinya belum bisa menceritakan hal itu,” katanya di lain kesempatan kepada saya.

Keberadaan Partai Gabthat di kalangan anak muda Aceh juga belum populer. Setidaknya hal itu yang diungkapkan Fakhrulrazi, seorang pemuda yang saya jumpai di sebuah warung nasi di tepi jalan Neusu, Banda Aceh.  Dia tak tahu apa-apa soal Gabthat.

“Nyan lon teupeu, peureute GAM ngon PRA (Yang saya ketahui, partai GAM dengan PRA),” jawabnya, sambil menikmati makan malamnya.

Kini proses verifikasi Gabthat oleh kantor wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Aceh memasuki tahap akhir, yakni peninjauan akan keberadaan partai Gabthat di setiap kabupaten atau kota di Aceh. Bila lulus, maka partai ini berhak memeriahkan pemilihan umum legislatif di Aceh tahun depan.***



*) Jufrizal adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Aceh. Ia mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh.