Doa "Adik" Cristiano Ronaldo Dari Tibang

Senyum fans "Setan Merah" Manchester United bukan hanya milik penghuni The Theatre of Dreams. Bocah ajaib dari Tibang, Martunis

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kearifan dari Ujung Sumatra…

"Umong meuateung, lampoh meupageu, rumoh meuadat, pukat meukaja"

BAHARUDDIN nama pria itu. Usianya lima tahun lagi baru genap setengah abad. Posisinya Panglima Laot Lamteungoh, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Sudah lima tahun terakhir 'jabatan' adat itu di pundaknya. Tugas adatnya sedikit berat.

Bahar, begitu dia disapa juga rangkap 'jabatan'. bukan hanya dikenal sebagai Panglima Laot. Dia juga keusyik atau kepala desa di kampungnya."Saya hanya menjalankan kepercayaan masyarakat," katanya kepada Waspada di Desa Lamteungoh baru-baru ini.

Kepercayaan itulah yang terus dilakoni pria yang seluruh anggota keluarganya tewas dalam musibah dahysat tsunami. Gelombang gergasi itu merenggut semuanya. Tapi tidak semangat hidup lelaki kulit gelap itu. Tugasnya adalah menegakkan aturan adat untuk para nelayan.

Semangat itulah yang dia usung untuk menjaga kembali lingkungannya pascatsunami. "Umong meuateung, lampoh meupageu, rumoh meuadat, pukat meukaja—sawah ada pematangnya, kebun ada pagarnya, rumah ada tata tertibnya dan jaring ada tandanya," tukasnya sembari mengutip sebuah petitih Aceh.

Karena itu, pascatsunami dia berharap, untuk mengelola kembali lingkungan Aceh, semua elemen perlu berpaling ke belakang. Ada kearifan lokal yang dilanggar. "Aceh punya pola sendiri dalam mengatur masalah ini," ujarnya.

Kearifan yang dimaksud Bahar—begitu dia disapa, bukan hanya di laut, tapi di blang (sawah), gle (ladang) dan uteun (hutan). Uniknya, masing-masing 'lembaga' adat itu punya struktur tersendiri. "Ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Aceh dipimpin Iskandar Muda," sambung Pawang Hasan, Panglima Laot Lhong, Aceh Besar.

Dalam tatanan adat itu, nama di laut disebut Panglima Laot, Keujruen Blang di sawah, Peutua Seuneubok di ladang dan Pawang Uteun atau Panglima Uteun untuk yang mengawasi di hutan. "Selama ini yang masih eksis hanya Panglima Laut," kata Sulaiman Tripa, seorang peneliti masalah kebudayaan lokal di Aceh.

Katanya, lembaga-lembaga inilah yang punya wewenang untuk menjaga wilayah masing-masing. "Peutua Seuneubok itu punya wewenang untuk menjaga pinggiran hutan agar tak ditebang sembarang lalu dijadikan ladang," papar dia.

Peutua Seuneubok, tambah penulis Aceh itu juga bertugas mengawasi pembukaan ladang-ladang baru oleh masyarakat. "Masyarakat tak boleh sembarangan membuka ladang baru tanpa sepengetahuan Peutua Seuneubok," jelasnya.

Hal yang sama juga berlaku di sawah. "Keujruen Blang-lah yang mengatur masalah pembagian air bagi petani di sawah. Dia juga yang mengatur kapan warga turun ke sawah dan bagaimana teknik pembagian airnya," sambung dia.

Panglima Laot Provinsi Aceh, HT Bustaman malahan menilai, jika kearifan lokal yang sudah disebutkan tadi berjalan, "Saya kira sangat membantu pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan di dalam kehidupan masyarakat," tambahnya.

Pawang Zakaria dari Krueng Raya, Aceh Besar juga mengatakan hal yang sama. "Bila semua komponen adat ini bisa berjalan normal, saya yakin tak perlu khawatir dengan lingkungan Aceh. Unsur inilah yang perlu dilibatkan dalam melestarikan lingkungan di Aceh," urai pria yang juga Panglima Laot itu.

Menurutnya, jika manusia tak serakah dan taat pada ketentuan adat, maka tak perlu dikhawatirkan. "Kalau kita taat pada adat, tak akan kejadian seperti di Aceh Tamiang," tukas dia. "Kearifan-kearifan itulah yang perlu dilestarikan," timpal Haikal, seorang aktivis Aceh lainnya.

Memang, sekira 23 Desember 2006 lalu, enam kabupaten di Aceh diserang banjir. Daerah itu adalah Aceh Tamiang yang melanda 12 kecamatan, Aceh Timur (5 kecamatan), Aceh Utara (16), Bener Meriah (3), Gayo Lues (5), dan Bireuen (3).

Data yang dilansir Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh belum lama ini menyebutkan tiap tahunnya hutan Aceh terus mengalami pengurangan luas akibat deforestrasi yang mencapai kurang lebih 20.796 ha per tahun. Selama tahun 2005-2006 diperkirakan deforestasi hutan Aceh mencapai angka 266.000 ha atau setara empat kali lipat luas Singapura dengan luas degradasi mencapai 2,2 juta ha, setara 44% dari total luas daratan Aceh.

Menurut Walhi, laju pengurangan luas hutan ini disebabkan oleh makin tingginya aktivitas pembalakan liar yang dipicu oleh proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Kerusakan hutan ini juga diikuti oleh rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Aceh, kurang lebih 46,40% atau 714.724,38 ha DAS di Provinsi Aceh mengalami kerusakan dari 1.524.624,12 ha total luas DAS di Aceh.

Masih menurut lembaga pemerhati lingkungan itu, Banjir yang terjadi di tujuh daerah Aceh akhir tahun lalu juga disebabkan oleh rusaknya empat DAS yang mengaliri daerah tersebut, yaitu DAS Peusangan di Kabupaten Aceh utara, DAS Tripa di Kabupaten Gayo Lues, DAS Tamiang di Kabupaten Aceh Tamiang, dan DAS Jamboaye di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara.

"Kerusakan empat DAS tersebut rata-rata telah mencapai 50 persen," kata Dewa Gumay dari Divisi Kampanye dan Advokasi Walhi Aceh. "Kerusakan hutan dan DAS tersebut dipicu oleh maraknya aktivitas pembalakan liar."

Baharuddin sendiri merasa prihatin ketika diperlihatkan data-data yang ditelaah Walhi itu. Dia hanya berkata singkat, "Kita semua salah. Mungkin tak ada salahnya jika untuk membendung keserakahan kita dengan kearifan yang sudah hidup turun temurun di masyarakatnya," imbuhnya. [Munawardi Ismail] 27/02/07

Doa "Adik" Cristiano Ronaldo Dari Tibang

SENYUM fans "Setan Merah" Manchester United bukan hanya milik penghuni The Theatre of Dreams. Bocah ajaib dari Tibang, Martunis turut merasa aura bahagia yang terpencar dari Old Trafford. Bagaimana tidak, salah seorang bintangnya "Red Devil" adalah "teman" akrab bocah itu. Siapa lagi kalau bukan Cristiano Ronaldo.

Ya, Ronaldo saat ini sedang menikmati kegemilangannya bersama Manchester United. Gelar juara Premiership pun sudah digondolnya. Bukan cuma itu, sebelumnya
Ronaldo sudah meraih empat penghargaan yakni Pemain Terbaik dan Pemain Muda Terbaik pilihan pemain Premiership, Pemain Terbaik pilihan fans dan Pemain Terbaik pilihan wartawan.

Ternyata, raihan itu semua tak luput dari pantauan anak Aceh yang dijuluki "Bocah Ajaib" oleh sebuah tabloid olahraga di Ibu kota. Setiap "tarian" anak muda Portugal di lapangan hijau tak luput dari pantauannya. "Kadang-kadang saya harus bergadang," ujar Martunis, 10, kepada Waspada, Minggu (6/5) petang.

Martunis terpaksa bergadang, karena menyesuaikan jadwal main tim "Setan Merah" yang sering larut malam untuk waktu Indonesia. "Pokoknya setiap Ronaldo main, dia selalu ingin nonton," timpal ayah Martunis, Sarbini saat menerima Waspada dan SCTV di kampungya Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.

Martunis dan Ronaldo punya hubungan "khusus". Ceritanya, ketika Nanggroe Aceh Darussalam dihempas tsunami pada 26 Desember 2004 silam, anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Sarbini dan Salwa ini diseret arus ganas ke kawasan Pantai Kuala, yang tak jauh dari Makam Syech Abdurrauf As-Singkily.

Saat ditemukan di makam ulama besar Aceh yang dikenal dengan sebutan Syiah Kuala itu, di tubuh Martunis masih melekat kostum duplikat tim nasional Portugal. Kostum nomor 10 yang bertuliskan nama Rui Costa itu dia kenakan sebelum musibah dahsyat tersebut menggerus Aceh, biasa sebelum gempa, pagi itu dia sedang main bola dengan teman-temannya.

Baju tim sepakbola dari Eropa Timur itulah yang kemudian menggetarkan Cristiano Ronaldo. Singkat kata, Martunis pun diundang ke negara tersebut, 30 Mei - 4 Juni 2005. Dalam lawatan itu, Martunis dan Sarbini disambut bak pahlawan pulang perang. Dia pun ikut menyaksikan laga Portugal kontra Slovakia, yang dimenangkan Ronaldo Cs dengan skor 2-0.

Lantas, sepekan kemudian giliran Ronaldo yang melakukan "kunjungan balasan" ke Aceh. Setelah keliling melihat Aceh yang remuk dilindas tsunami, Ronaldo pun bersua kembali dengan Martunis di Lapangan Neusu Banda Aceh serta Bandara Blangbintang.

Pertemuan, keduanya bagaikan reuni keluarga antara abang dan adik. Kendati pun keduanya harus banyak bicara dengan bahasa "tarzan".
Lantas, keduanya juga saling tukas nomor telepon. "Kini ngak ada lagi no hpnya, sudah hilang dicuri," kata Martunis dalam bahasa Aceh.

Untuk melepas kerinduan kepada "abangnya", Martunis kerap menonton MUTV yang selalu menayangkan aksi lapangan skuad Manchester United. "Kadang-kadang juga nonton ESPN dan Starsport," jelas Tunis seraya yang diamini ayahnya.

Sama seperti Minggu kemarin, selepas bermain bola dengan anak-anak seusianya yang diliput televisi swasta nasional, Tunis langsung pulang menyetel televisi guna menonton aksi ciamik Ronaldo. "Saya paling suka melihat Ronaldo dalam menggiring bola," kata anak yang memfavoritkan Manchester United ini.

Karena itu, Martunis dan rekan-rekannya berharap suatu saat Ronaldo bisa mengajari mereka dalam mendribel bola serta teknis-teknis sepak bola. "Saya masih berharap bisa ketemu lagi dengan 'abang' Ronaldo. Kalau ngak datang ke Aceh, mungkin di Portugal," harap siswa kelas V SD Negeri Tibang itu.

Selain berharap bisa bersua melepas rindu, Tunis mengaku selalu berdoa agar tim yang dibela Ronaldo meraih kemenangan dalam setiap laga. Makanya, tak heran bila senyum Martunis selalu sumringah saat kemenangan berpihak pada Ronaldo. "Saya memang memfavoritkan Portugal, Ronaldo dan timnya Manchester United," tukas dia.

Bagaimana kalau Ronaldo pindah klub? Tanpa ragu Tunis menjawab akan selalu mendukung Ronaldo dan tim yang dibelanya. Namun, akan lain cerita jika pemilik nomor punggung 17 di tim nasional Portugal ini ganti warga negara. Martunis akan pikir-pikir dulu. "Tapi saya tetap dukung Portugal," tandasnya.

Pun demikian, doanya untuk Ronaldo akan terus mengalir, selama pria tampan itu masih kuat menari-nari di lapangan hijau. "Bukan hanya sebatas dukungan, doa pun senantiasa menyertai langkah Ronaldo." sambung Sarbini, orang tua Martunis. [Munawardi Ismail]07/05/07

Meretas Jalan Menuju Kemakmuran...

SYAMSUDDIN Ibrahim menyapu wajah tuanya dengan selembar handuk putih. Dia menarik nafas panjang. Beban berat lepas sudah. Lima menit sebelum itu, dia bersama rekan-rekannya baru saja kerja keras; mendorong satu unit truk colt yang terperangkap di jembatan rusak. "Jalan ini sudah 16 tahun kami lalui, belum ada yang berubah," katanya.

Waktu 16 tahun bukan masa nan singkat bagi Syamsuddin yang sudah berusia 66 tahun itu. Jika bukan karena mencari sesuap nasi, mustahil dia menerobos jalan ini. Syamsuddin memang tidak sendiri, ada Abu Ismail, 45, Sulaiman Daud, 50, serta rekan-rekannya, tiga di antaranya perempuan. Semuanya pedagang keliling.

"Kami sudah rutin, seminggu sekali lewat jalan ini," timpal Abu Ismail, warga Caleue, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie. Rombongan dagang ini baru saja pulang berjualan di Lampanah, Leungah dan Lamteuba. Sebuah kemukiman terpencil dekat pesisir di Kecamatan Seulimeum, Aceh Besar.

Makanya, menerobos lumpur dan melewati semua aral di jalan sudah biasa bagi mereka. Salah satu kawasan yang sedikit berat dilaluinya adalah Seupeng Raya, Biheue, Kecamatan Muara Tiga, Pidie. Daerah ini berbatasan langsung dengan kemukiman Lampanah-Leungah Aceh Besar.

Jalan yang kerap dilintasi "kabilah" dagang itulah yang dipantau rombongan Komisi D DPR Aceh dan Kepala Dinas Prasarana Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Dimulai dari Krueng Raya melintasi Lampanah-Leungah, menerobos Laweung lewat Batee, sampai ke Tibang, Kecamatan Pidie. Panjangnya 73 kilometer.

Ada agenda besar untuk jalur alternatif yang masih berstatus jalan provinsi ini. Agenda itu bukan hanya membebaskan kawasan itu dari keterisoliran, akan tetapi pengembangan kawasan. "Kalau Pelabuhan Malahayati selesai dan jadi pelabuhan ekspor-impor, jalan ini menjadi jalur alternatif," kata Ridwan Husen, Kadis Praswil kepada wartawan, Minggu (13/5).

Katanya, untuk truk jenis trailer yang bertonase besar akan melintasi jalur ini. "Jadi mereka tidak perlu melintasi lagi jalan Seulawah," kata dia yang diamini Ketua Komisi D DPR Aceh, Sulaiman Abda dan anggotanya Basrun Yusuf.

Harapan ini disambut dengan baik oleh wakil rakyat. "Jalan ini bisa dijadikan sebagai lintasan untuk truk barang, sehingga memperkecil kerusakan jalan lintas Seulawah. Oleh karena itu dukungan BRR dan pemerintah pusat sangat diharapkan," tambah Sulaiman Abda.

Menurut dia, jika pelabuhan Malahayati sudah aktif sebagai pelabuhan kontainer, di mana arus barang dan kendaraan akan meningkat, maka kebutuhan akan pembangunan jalan tersebut menjadi urgen sekali. "Dia menjadi sangat strategis untuk sarana perhubungan darat," katanya.

Nah, untuk mencapai maksud tersebut tak ada pilihan lain, jalan sepanjang 73 kilometer ini harus direhab lagi. Selama ini, sumber dana pembangunan jalan dipesisir itu dari APBD Nanggroe Aceh Darussalam. "Kalau dana ini yang kita ambil bisa bengkak," timpal Anwar Ishak, seorang staf Dinas Praswil.

Karena itu, dia mengusulkan asal status jalan tersebut juga ditingkatkan menjadi jalan negara. "Kalau status sudah masuk jalan negara, sumber pembiayaannya dari APBN. Dana APBD bisa untuk pembangunan sarana yang lain," katanya, sembari lembaga rehab rekons di Aceh mengucurkan dana untuk jalan ini.

Begitu pun, jalan yang bisa dilewati sekarang dianggap bisa menjadi penerobos jalur alternatif ini, selain perlu pengerasan, jalan ini juga baru puluhan meter saja yang beraspal. Namun tahun ini, instansi terkait juga akan melakukan pelebaran. Jika ini sudah dikerjakan, maka ruas yang mulus bukan hanya 20 km dari Krueng Raya saja.

Di jalur Krueng Raya-Tibang ini bukan yang jalan yang penuh lubang. Setidaknya ada tiga jembatan yang juga bernasib sama; rusak. Makanya arus transportasi ke kawasan ini juga minim sekali. Sejak memasuki ruas jalan ini dari Krueng Raya, hanya tiga unit mobil yang melintas dari arah berlawanan.

Selain empat unit mobil rombongan DRP Aceh dan Dinas Praswil, nyaris tak ada kendaraan lain yang menerobos Krueng Raya menuju Pidie. Kecuali milik "kafilah" dagang dari Pidie yang berniaga ke Lampanah-Leungah. Dan itu pun cuma sepekan sekali.

Tentu saja, nasibnya akan berbeda bila jalur tersebut semulus lintasan Seulawah. Selain bakal padat dengan arus kenderaan, juga bisa sekalian refresing dengan panorama pantai sepanjang jalan. Dengan sendirinya warga setempat akan makmur. Setidaknya akan banyak trailer dan "kabilah-kabilah" dagang lain akan melintas.

"Kita harapkan BRR juga menaruh perhatian untuk pembangunan jalan ini. Kontribusinya sangat berarti," sambung Sulaiman Abda.

Kabarnya, jalan sepanjang 73 km itu membutuhkan sedikitnya Rp 210 miliar, jika diaspal hotmix. Mahal memang jalan menuju kemakmuran... [Munawardi Ismail]----------14/05/07

Yang Mengalir Seperti Air Di Tanoh Aceh

MINAT remaja Aceh untuk menulis terbilang tinggi. Menyimak dari hasrat, terlihat menggebu-gebu. Membaca contoh tulisan, tersimpan banyak potensi. Jelas ada bakat yang terpendam. Mereka tak ubahnya bak mutiara berkubang lumpur. Lantas, Seuramoe Teumuleh pun mengangkat "mutiara" dalam lumpur itu.

Cukup beralasan ketika Seuramoe Tumuleh II kembali dimulai. Apalagi putra-putri tanoh Aceh itu punya potensi, ide-ide mereka juga apik. Makanya, bila sedikit saja dipoles, mutiara itupun akan berkilau. Mereka punya segudang ide yang terkadang liar. "Saya tak tahu harus memulai dari mana kalau menulis, sementara ide itu banyak sekali," tukas Aida Yunita, kepada saya ketika itu.

Aida adalah satu dari 100 peserta sekolah menulis; Seuramoe Teumuleh II yang digelar Katahati Institute bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Pendidikan untuk "tukang tulis" yang gratis itu akan berlangsung selama dua bulan. Desember 2006 lalu, kegiatan serupa juga sudah pernah digelar.

Saya yang mendapat "tugas" menyeleksi hampir 200-an calon peserta pada saat wawancara beberapa waktu lalu, menangkap kesan itu. Paling tidak inspirasi calon-calon "tukang tulis" ini cukup cemerlang. Dan yang tak kalah penting adalah mereka kritis.

Daya kritiknya kuat juga. Tapi dari seratusan remaja, mereka malah tertarik untuk mengkritisi penerapan syariat Islam dan perilaku remaja di Serambi Makkah. Ada apa dengan syariat? Salahkah dia? "Saya tertarik menulis syariat Islam yang lagi susah payahnya diterapkan di Aceh," komentar Nurlaila AR, calon peserta yang saya wawancarai.

Dia tertarik bukan disebabkan alasan klasik, karena Islam sudah membumi di tanoh rencong. Nurlaila mengaku melihat syariat Islam itu sudah seperti "benda" asing di Aceh. Ditambah lagi dengan tingkah aparatur pemerintah yang dianggap tebang pilih dalam menerapkan hukum agama itu.

"Kalau rakyat biasa yang salah, langsung diproses dan dipersulit. Tapi coba kalau kelas menengah ke atas, pasti berlarut-larut. Sungguh itu bukan cara terbaik untuk masyarakat. Kalo begini caranya, rakyat akan mengamuk," ulas Nirna Yanti, mahasiswa sebuah lembaga pendidikan di Banda Aceh ini.

Menyimak komentar warga Keutapang ini, saya teringat Taqwaddin, SH, MS, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh ini bilang, syariat Islam di Aceh itu mengandung sifat-sifat air; mencari tempat yang rendah.

"Hukum bagaikan air. Mengalir ke tempat paling rendah, sehingga pada orang rendahan sajalah hukum itu menumpuk," tamsil pria yang juga menamatkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Unsyiah itu. Ironis memang, sejatinya hukum itu berlaku untuk siapa saja, tak peduli dia pejabat atau penjahat.

Tapi, seperti kata Taqwaddin, sebaliknya, hukum itu tidak berlaku bagi orang yang lebih tinggi kedudukan dan jabatannya. "Dengan berbagai dalil, hukum itu seperti menjauh dari yang bersangkutan," urai dia.

Taqwaddin benar. Karena itu pulalah, Safrina, calon peserta lainnya, merasa "tidak bisa" menerima pelaksanaan syariat Islam itu. "Sejak saat diterapkan, saya malah merasa tertantang untuk kucing-kucingan dengan petugas," aku gadis asal Aceh Timur itu.

Akibat "pemaksaan" itulah, Safrina tak pernah merasa peraturan itu menjadi sebuah kewajiban bagi dia, tapi sebaliknya, cuma sebatas formalitas semata. "Kenapa perempuan terus yang disorot," tanya gadis hitam manis ini.

Lain lagi dengan Alvi Chairiah, siswa SMU 3 Banda Aceh yang juga mengikuti kegiatan serupa. Gadis manis ini mengatakan syariat Islam bukan rintangan bagi dia. "Kalau kita berbusana dengan sopan tak perlu takut dengan WH. Kita hanya takut kepada Allah SWT," urai Alvi. WH akronim dari Wilayatul Hisbah yang menjadi semacam polisi syariah.

Nindy Silvie, siswi SMU I Banda Aceh juga tak jauh beda. Sebagai muslimah dia melihat syariah itu kebutuhan. "Tanpa dipaksa pun, kita selalu memakai jilbab kok," ujar siswi yang aktif di OSIS sekolahnya.

Pro kontra masalah syariat Islam, seakan mengalir seperti air juga. Di bendung sana-sini, sesuai dengan kondrat air, dia juga tetap mencari dataran rendah. Meski yang sangat disayangkan adalah penerapannya yang "mengadopsi" gaya air. "Seharusnya semua orang di mata hukum sama," sambung Mu'arif, juga calon peserta yang saya tanyai.

Pada kesempatan yang lain, kalangan ulama mengharapkan penerapan syariat Islam di Aceh tidak boleh gagal, kendati dalam implementasinya banyak kendala yang dihadapi. "Tidak ada istilah gagal syariat Islam di Aceh, ini tanggung jawab kita bersama," kata Tgk. H. Nuruzzahri Yahya, seorang ulama Aceh baru-baru ini.

Kata Wakil I Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) ini, komitmen pemerintah dalam menjalankan syariat Islam di Aceh sudah merupakan sebuah kemajuan. "Di sinilah perlunya dijaga kekompakan agar semua pihak bersatu dalam mengawal jalannya syariat Islam," ujar pria yang kerap disapa Waled Nu itu.

Atas nama bersatu untuk pengawalan, seperti diutarakan ulama dayah ini, tentu kita juga akan menunggu kritikan remaja Aceh yang sedang belajar menjadi "tukang tulis"
di Seuramoe Tumuleh. Akankah mereka juga mengkritik seperti air yang mengalir. [Munawardi Ismail]

Menggores Damai Di Kanvas Aceh...

Ratusan bocah-bocah belasan tahun di Banda Aceh dengan semangat mengikuti lomba melukis. Kali ini bukan melukis tentang tsunami seperti yang marak beberapa bulan silam. Tapi sekarang tentang perdamaian. Menarik memang, ketika damai itu digores anak-anak.

Dulunya, jika anak-anak diajak melukis yang digambar pasti soal senjata, granat dan rumah-rumah yang terbakar. Lalu, ketika musibah dahsyat tsunami menghayak Aceh, giliran gelombang dan orang-orang berlarian ke segala arah yang digambarkan.

Semua itu sudah berlalu, kini mengisi masa damai. Hasil goresan pun berbeda pula. Tidak seperti biasanya. Apik dan menarik. Semua kegiatan tersebut dirangkum guna menyambut 2 tahun perdamaian Aceh pada 15 Agustus nanti. "Bergandeng Tangan, Merenda Damai" itulah tema acara itu.

Tentu saja, hajatan tersebut digelar Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA). Mulai dari Duek Pakat Ulama dan Tokoh Masyarakat Aceh "Pikee Keu Damee" hingga Lomba Lukis dan Menulis Surat Anak untuk Perdamaian Aceh.

Faurizal Moechtar, ST, staf BRA Pusat kepada Waspada, kemarin mengatakan pihaknya juga akan menggelar Tour Perdamaian Keliling Aceh, pada 15 Agustus nanti. Katanya, kegiatan tersebut akan 15 becak yang mulai bergerak dari Banda Aceh.

Untuk tour perdamaian tersebut, para peserta akan mengusung atribut-atribut serta buletin perdamaian ntuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. "Kita targetkan 10 hari keliling Aceh itu akan selesai," ujarnya.

Bukan cuma itu, dalam tour tersebut selain abang becak, juga akan ikut puluhan mahasiswa yang akan diawal foreder serta satu unit mobil ambulan. "Setiap masuk kabupaten kota mereka akan disambut dan dilepaskan oleh BRA setempat," sebut Faurizal yang juga Koordinator Bidang Ekonomi BRA.


Menurut mantan aktivis ini, ketika berbicara damai mendengar suara hati anak-anak adalah langkah tidak salah dan bijaksana. Toh, anak-anak paling punya hak menikmati perdamaian ini. Dan itulah yang dilakukan lembaga reintegrasi ini dalam memperingati dua tahun perjanjian damai yang diteken pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

"Saya terharu melihat goresan anak-anak. Apresiasi mereka tentang perdamaian sangat luar biasa," kata Faurizal mengomentari aksi 210 anak-anak di Banda Aceh yang mengikuti lomba lukis dimaksud. Acara yang digelar di kompleks Meuligoe Gubernur Aceh, pada Senin (6/8) petang itu, berlangsung sukses.

Begitu pula dengan Tijana Syarafana, salah satu peserta lomba lukis. Siswa SD Percontohan Lamlagang mengaku senang dengan kondisi Aceh yang sudah damai. "Kemana-mana kita nggak takut lagi, nggak ada suara bom," celotehnya.

Ketua Harian BRA, M Nur Djuli yang menyempatkan diri menengok apresiasi anak-anak di atas kertas menyambut positif kegiatan tersebut. Bukan hanya sebatas itu, dia juga mengaku kagum dan tak menyangka, ketika melihat lukisan karya anak-anak. "Bagus-bagus dan menarik," komentarnya.

Goresan anak-anak yang dilihat Nur Djuli bervariasi, ada yang menggambar orang bersalaman, pos TNI dan GAM, bendera merah putih dan bendera GAM. "Isinya tidak ada lagi unsur-unsur kekerasan dalam pikiran anak-anak serang, semuanya sudah damai. Positif sekali," sebutnya.

Kendati menarik, kita harus menunggu sepekan lagi untuk menunggu siapa pemenangnya. Tapi yang penting damai sudah tersemai. (b05) 07/08/07-------


Foto: lintasgayo

"Kalau Damai, Dengan Becak Bisa Keliling Aceh..."

Perjalanan keliling Aceh yang dilakukan tim Tour Becak Perdamaian disambut antusias oleh warga beberapa daerah yang disinggahi. Kegiatan tersebut dalam rangka "Refleksi 2 Tahun MoU Helsinki". Kini mereka sudah tiba kembali di Banda Aceh.

Tour Becak Perdamaian yang diikuti 30 peserta serta melibatkan 15 unit becak itu memulai start pada 15 Agustus lalu, saat peringatan dua tahun Mou Helsinki di Blang Padang Banda Aceh. Rombongan becak dilepas Gubernur Irwandi Yusuf.

Setelah menempuh perjalanan selama delapan hari, Rabu (23/8) petang, mereka kembali tiba di Banda Aceh. Ketua Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA) M Nur Djuli menyambut mereka dengan jamuan makan malam bersama di Restoran Meuligoe Gubernur Aceh.

Dalam acara penyambutan serta pemberian sertifikat itu, sejumlah peserta menceritakan suka dukanya selama perjalanan. Termasuk harus melawan derasnya hujan dan dinginnya Kota Kabanjahe, Sumatera Utara ketika malam melintas kawasan itu.

"Di Sumatera Utara, romobongan becak ini disangka dalam rangka memeriahkan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, sehingga mayarakat di sana meneriakkan "merdeka..., merdekaaa," cerita Muhajir, koordinator tim.

Sedangkan, peserta tertua Syamaun yang akrab dipanggil Ayah, turun berbagai cerita
selama dalam perjalanan. Apalagi medan yang dilalui juga cukup berat. Namun semua tantangan itu berhasil mereka lalu sehingga tiba kembali di Banda Aceh.

Sementara Ibrahim, peserta lainnya mengungkapkan dengan perjalan keliling Aceh yang mereka lakukan itu, dia banyak menangkap keharuan. Apalagi saat disambut dengan antusias oleh warga setempat. "Bahkan kami dipeusijuek juga," cerita dia.

Katanya, yang ingin disampaikan bukan hanya persoalan bagaiaman sambutan di setiap daerah. Tapi, lanjut Ibrahim dia ingin merasakan aura perdamaian yang membumi di tanah rencong. "Kalau damai, dengan becak pun, kita bisa keliling Aceh," tukasnya.

Lain lagi dengan Junaidi, peserta lainnya dari Jeumpa Mirah. Dia merasa kagum melihat keindahan alam di pelosok Serambi Mekah. Tapi dia sedikit prihatin melihat anak-anak sekolah di sebuah daerah di Subulussalam.

Disebutkannya, anak-anak tersebut bersekolah dengan apa adanya. "Lebih baik jika damai itu dari berbagai sisi," ungkap Junaidi. Sayangnya, dia tak ingat lagi, nama daerah yang membuat empatinya mencelat.

Ketua BRA, Nur Djuli ketika menyambut semua anggota tim Tour Becak Perdamaian yang kembali dengan selamat mengungkapkan rasa bangganya. "Perdamaian itu jangan dilihat sebatas salam-salaman dan berpelukan seperti yang terlihat di televisi," ujarnya.

Akan tetapi, sambung Djuli, perdamaian itu harus membumi di masyarakat lapisan bawah. "Perdamaian ini untuk rakyat kelas bawah, grass rood," katanya. Karena itu pelibatan abang becak dalam tour pedamaian ini, seakan menjadi "simbol" dari golongan yang dimaksud.

Kemudian, Faurizal Moechtar, Ketua Panitia "Refleksi 2 Tahun MoU Helsinki" kepada Waspada mengatakan tour perdamaian disambut antusia masyarakat yang cinta perdamaian. Apalagi, peserta tour juga mengusung atribut-atribut perdamaian untuk disuarakan seluruh Aceh.

24/08/07

Inong Balee Dalam Zaman Aceh

MEMANG tak terbantahkan, Aceh identik dengan perjuangan wanita-wanita perkasa. Banyak tokoh wanita hebat lahir di Aceh. Tahun 1400-1428, tercatat seorang raja wanita bernama Ratu Nihrasiyah memegang pemerintahan di Kerajaan Samudera Pasai.


Pada tahun 1585-1604 seorang perempuan bernama Laksamana Malahayati memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Malahayati tercatat memimpin perang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599, dan mendapat gelar Admiral untuk keberaniannya ini.


Pada zaman pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah IV (memerintah tahun 1589-1604) tersebut, pernah dibentuk sebuah armada yang sebagian prajuritnya terdiri dari janda-janda (inong balee) pahlawan yang telah tewas. Armada ini dipimpin Laksamana Malahayati. Dalam buku "Vrouwelijke Admiral Malahayati", penulis wanita Belanda Marie van Zuchtelen menyebutkan bahwa armada ini terdiri dari sekitar 2.000 prajurit perempuan yang gagah, tangkas dan berani.


Demikian pula pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604-1607), pernah dibentuk "Suke Kaway Istana" atau Resimen Pengawal Istana yang terdiri dari "Si Pai Inong" (prajurit-prajurit wanita) di bawah pimpinan dua perempuan yaitu Laksamana Leurah Ganti dan Laksamana Muda Tjut Meurah Inseuen. Dua pimpinan inilah yang berhasil membebaskan Iskandar Muda dari tawanan Alaidin Riayat Syah V.

Kebelakang lagi, kita mengenal Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah, Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah, dan Sri Ratu Kumala Syah. Hingga yang lebih disebut heroik semacam Cut Nyak Dien yang adalah keturunan dari bangsawan putri Nanta Seutia Raja Ulebalang Mukim. Serta Cut Meutia, yang lahir tahun 1870, aktif di daerah Pase bergerilya bersama suaminya melawan Belanda.

Hanya saja menjadi pertanyaan, kalau Laskar Inong Balee asuhannya GSA ini memang betul hebat, siapakah perempuan besar yang ada di belakangnya? Atau pihak GSA hanya memanfaatkan melankholitas sejarah perjuangan wanita terdahulu yang memang jelas berbeda dengan perjuangan saat ini? Dengan kata lain mereka hanya memanfaatkan wanita-wanita semata?

Lalu pertanyaan yang paling adalah: kemanakah wanita-wanita itu sekarang? Tidak ada yang tahu. Yang jelas, jika ada wanita yang tertembak dalam Darurat Militer kali ini, tidak akan ada yang mengaku dari Laskar Inong Balee. Mereka akan disebut sipil tak berdosa. (jones sirait)